Headline
. AS kembali memundurkan waktu pemberlakuan tarif resiprokal menjadi 1 Agustus.
. AS kembali memundurkan waktu pemberlakuan tarif resiprokal menjadi 1 Agustus.
Penurunan permukaan tanah di Jakarta terus menjadi ancaman serius.
PESATNYA perkembangan dunia Esport rupanya juga menarik perhatian tenaga medis, khususnya di kalangan dokter spesialis olahraga. Hal tersebut, dapat dilihat dari sebuah laporan yang dipublikasikan melalui The Journal of American Osteopathic Association beberapa waktu lalu.
Dalam laporan tersebut, sejumlah tenaga medis tampak memperhatikan perkembangan altet Esport di Amerika Serikat. Menurut mereka, kedokteran olahraga butuh protokol baru untuk menjamin kesehatan para atlet.
"Bisa dikatakan kini esports tidak lagi dalam tahap awal. Ini kompetisi kelas dunia dan bisnis yang serius. Sudah waktunya kita dalam kedokteran olahraga memberi para atlet ini dukungan yang mereka butuhkan," kata Direktur Kedokteran Olahraga New York Institute of Technology College of Osteopathic Medicine, Hallie Zwibel seperti dilansir dari Sciencedaily, Jumat, (30/10).
Zwibel mengatakan, Esports mungkin dimainkan sambil duduk, dan orang-orang akan berpikir bahwa secara harfiah mereka tidak akan cedera. Akan tetapi, mereka sebenarnya dapat mengalami masalah kesehatan yang signifikan karena sifat olahraga yang tidak banyak bergerak.
Zwibel dan tim mengamati, atlet esport biasa berlatih tiga hingga 10 jam per hari untuk menyempurnakan strategi dan refleks mereka dalam permainan. Penelitian sebelumnya mendapati 56% atlet esports mengalami kelelahan mata, 42% melaporkan nyeri leher dan punggung, 36% nyeri pergelangan tangan, dan 32% nyeri tangan.
Selain itu, 40% dari mereka mengaku tidak melakukan aktivitas fisik pada hari tertentu dan hanya 2% dari mereka yang mengaku pernah mencari atau meminta perawatan medis. Beberapa gangguan yang ditemui, misalnya, disregulasi metabolik karena duduk terlalu lama. Mereka juga mengonsumsi kafein dan gula dengan cukup tinggi, selain menderita depresi dan kecemasan.
"Kami baru saja menyadari betapa esport menuntut fisik dan mental. Seperti atlet di perguruan tinggi atau tingkat profesional lainnya, mereka membutuhkan pelatih, terapis fisik, dan dokter untuk membantu mereka mengoptimalkan kinerja dan menjaga kesehatan jangka panjang," imbuh Zwibel.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved