Headline
AS ikut campur, Iran menyatakan siap tutup Selat Hormuz.
Tren kebakaran di Jakarta menunjukkan dinamika yang cukup signifikan.
MAKAN, kini bukan hanya soal kenyang dan enak. Kuliner kini telah bergeser menjadi industri yang makin ramai digemari anak muda dengan penuh inovasi. Ada juga turisme kuliner yang menggali makanan dengan konteks sosial-budayanya.
Burgreens, Chicken Crush, What’s Up Cafe, merupakan beberapa deret nama yang kini meramaikan bisnis kuliner di sudut kota di Indonesia. Mereka lahir dari para anak muda, bahkan di antaranya tidak berlatar belakang ilmu tata boga.
Burgreens, bentukan duo Helga Angelina dan Max Mandias, menawarkan konsep kemudahan mendapat makanan nabati semudah masyarakat urban menemukan gerai makanan cepat saji. Memasuki tahun kelimanya, Burgreens tidak lagi sebatas bisnis kuliner. Mereka juga berupaya dengan social enterprise-nya, konsisten sejak awal melakukan edukasi pasar untuk para konsumennya.
"Bahan baku langsung dari petani dan kita beli dengan harga layak, kita juga berdayakan ibu-ibu yang less advantage background untuk bekerja di perusahaan kita. Kalau dulu, dua tahun pertama saat masih di Rempoa dan Tebet, ketika masih rumahan banget dan agak susah ditemukan, tiap bulan kita bikin acara komunitas, terkait dengan wellness, green life style, supaya orang enggak bosen, dan dalam proses belajarnya juga seneng," cerita Helga dalam diskusi scaling up your culinary business di Ideafest, Jumat (26/10).
Melalui Burgreens, Helga dan Max membangun komunitas sosial dengan fokus hidup sehat lewat makanan. Cara lain ditawarkan Ayu Zulia Shafira dan Valentino Ivan, penggagas What’s Up Cafe. Bermula dari gagasan mengangkat martabat mi instan, kini mereka lebih fokus pada visi tempat anak muda mencari hiburan.
"Kalau di What’s Up, saat kita buka kafe, selalu mikirin bagaimana caranya orang rasain dulu, misalnya, dengan bikin bayar pakai selfie, bayar sesuka customer, supaya mereka cobain dulu. Paling tidak, dari pengalaman, 50% customer akan balik lagi. Tentunya, servis dan makanan harus menunjang. Cara kita maintain customer, dengan cara bikin event, setiap hari diisi sama agenda komunitas, misalnya, stand up, fotografi, mini talk show," kata Ayu, perempuan yang merupakan lulusan IT ini.
Bila Burgreens dan What’s Up Cafe menyasar pasar perkotaan, berbeda strategi dengan Chicken Crush. Mereka justru menyasar pasar daerah. Produk ayam asal Yogyakarta ini membuka beberapa cabang yang jauh dari pusat kota besar.
"Kalau Jakarta lebih padat persaingannya, di daerah tuh lebih agak sedikit, jangan fokus menggarap pasar Jakarta, pasar untuk segmen di daerah lebih besar kok. Tinggal bagaimana kita cara ngolah-nya, kalau misalnya belum ada modal untuk bisnis di pusat, selami dulu, baru tusuk jantungnya di tengah," kata Stevanus Roy, Co-Founder Chicken Crush. Ia juga berpesan kepada anak muda yang ingin berbisnis kuliner, niatnya sudah harus serius sejak awal.
Turisme
Para pemilik bisnis ini merupakan peserta mentoring Spice Up. Spice Up merupakan wadah akselerasi bisnis kuliner yang dilakukan selama empat bulan, yang digagas organisasi nirlaba Endeavor. Tiap pelaku bisnis didampingi dua hingga empat mentor, salah satu mentornya, pakar kuliner William Wongso. Sejumlah prasyarat harus dipenuhi untuk bergabung, di antaranya beromzet Rp4 miliar, memiliki dua gerai, dan beroperasi selama dua tahun.
Mereka bergabung ke wadah ini pun bukan tanpa alasan. Pasalnya, mereka ingin belajar dan melihat area yang tak terlihat dan belum diketahui.
Memang kondisi kuliner saat ini tidak bisa dimungkiri lagi mengalami perubahan. Kini kuliner telah menjadi destinasi wisata. Namun, dalam turisme kuliner, makanan tidak semata enak dan tidak enak. Melainkan ada nilai lebih yang diangkat, selalu ada cerita di balik makanan tersebut.
Ade Putri Paramadita, salah satu storyteller kuliner yang sudah dikenal publik lewat platform Instagram dan webseries-nya, merasa perlu menggali potensi kuliner dari berbagai wilayah di Indonesia.
"Kita enggak mungkin cerita 'secetek' enak banget nih, harus makan, yum! Harus ada cerita di balik itu, yang bikin orang tertarik. Luas banget, dan budaya di baliknya, itu yang buat menarik. Seharusnya orang bisa tertarik dari sekadar beli di mana? Nilai yang bikin orang tertarik untuk ngajak pergi bersama dalam tur kuliner, mereka jadi jauh minatnya, bukan makan lagi, tapi mmengenali dan bisa menceritakan kembali ke teman lain," katanya dalam sesi diskusi The Rise of Food Tourism di IdeaFest, Jumat (26/10).
Peremuan yang tergabung dalam gerakan Aku Cinta Makanan Indonesia (ACMI) bentukan William Wongso dan Shanti Sherad ini, mengaku caranya bercerita mirip dengan jurnalis kuliner. Namun, dikemas dengan cara yang lebih luwes. Baginya, setiap daerah memiliki budaya dan nilai cerita menarik yang berbeda-beda. Di ACMI, mereka punya misi mempromosikan dan mendokumentasikan makanan Indonesia dengan membuat konten menarik, salah satunya bekerja sama dengan beberapa agen wisata.
Pelaku bisnis jasa perjalanan, Vinny Muljadi, misalnya, mengungkapkan pergeseran pola dalam industri turisme ini disebabkan pergeseran populasi. Menurutnya, generasi milenial sudah memenuhi populasi dunia.
Mau tidak mau, lima tahun mendatang mereka akan mengatrol perekonomian. Dampaknya, mereka akan membentuk suatu tren, yang ujung-ujungnya bisnis.
"Ada riset yang menyebutkan, mereka hidup di era dunia yang kini sudah terlipat. Semua dalam jangkauan dan terkoneksi. Namun, di sisi lain, mereka juga ter-diskoneksi pada sekelilingnya. Milenial terkoneksi lewat makanan karena makanan mampu memberi respons ke semua indra kita," papar pendiri Pelangi Buana, salah satu bisnis jasa perjalanan ini.
Karakter milenial yang ingin tahu banyak hal karena merasa terdiskoneksi, membuat mereka melakukan perjalanan. Milenial haus akan informasi sehingga kini dalam memandang kuliner, bukan sekadar untuk makan, melainkan juga ingin mencari tahu asal-usulnya, cara pengolahannya.
"Satu lagi, mereka tidak tertutup dengan budaya baru, keautentikan makanan mereka terima. Secara industri ada pergeseran, makanan bisa menjadi portal memperkenalkan budaya."
Ia mencontohkan, ketika membuka perjalanan kuliner ke Jailolo, Halmahera Barat, Maluku Utara. Dengan biaya Rp7,5 juta, banyak yang berminat. Sejumlah kegiatan dilakukan, seperti makan ulat sagu, memasak dengan warga lokal, dan mengunjungi sumber bahan baku makanan.
Santhi Serad mengungkapkan, menghargai keberagaman makanan merupakan bentuk penghormatan pada perbedaan identitas. "autentisitas makanan adalah identitas kultural. Kuliner adalah bentuk diplomasi budaya yang kuat," tutupnya. (M-3)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved