13/11/2016 08:00

Serasa Tertelan Bumi

SOROT panjang cahaya matahari mengiringi saya turun ke perut bumi. Ujung cahaya itu berakhir sekitar 18 meter di bawah, sementara bias-biasnya menyebar ke berbagai sudut ruang (chamber) yang menganga di sekeliling saya. Luasnya sekitar 20 meter, yang berarti sangat kontras dengan celah yang hanya selebar badan, yang menjadi tempat saya dan juga cahaya masuk dari atas.

Maka, diri ini pun terkesima sembari berayun-ayun turun menggunakan karmantel. Ruang besar inilah mulut Gua Kerek, salah satu gua vertikal Gua Buniayu di Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat.

"Kita beruntung dapat spotlight karena biasanya jarang-jarang pengunjung dapat," kata asisten pemandu gua, M Taufik Alissandy, yang Senin (7/11) itu menemani tim Media Indonesia bertualang. Meski keberuntungan itu tampaknya lebih karena waktu turun yang pas dengan arah sinar matahari ke mulut gua, tetap saja kejadian alam itu terasa seperti sambutan yang manis. Seolah persetujuan alam bagi kami menikmati cantiknya gua meski di musim penghujan ini.

Kecantikan yang tersembunyi itu pula yang menurut pemandu gua, Alex M Ali Atmadikara, membuat gua itu semula disebut Gua Siluman. Setelah menjadi gua wisata pada 1998, dipilih nama Buniayu yang sebenarnya juga berarti kecantikan tersembunyi.

Gua wisata Buniayu memiliki tiga mulut gua yang berhubungan. Jumlah guanya sendiri setidaknya ada dua dengan lintasan berbeda, yakni horizontal dan vertikal. Gua horizontal ialah Gua Angin dan bebas dikunjungi tanpa batasan umur dan persiapan khusus. Adapun gua vertikal ialah yang kami jelajahi dengan berbekal perlengkapan sesuai standar internasional.

Menyusuri Gua Kerek seperti perjalanan meninggalkan cahaya karena gua ini memiliki zona terang, senja, dan gelap abadi. Zona gelap abadi bisa dikenali dengan perbedaan suhu yang membuat tubuh seakan berasap karena suhu panas alami tubuh.

Ngopi terbaik
Kegelapan itu seakan makin mencekam karena medan yang curam dan licin. Banyak lubang dalam dan aliran air serta lumpur yang bisa sedalam 30 cm.

Dalam kegelapan abadi pula kami menyusur sungai bawah tanah yang kontur dasarnya mudah mengoyak kaki jika tidak menggunakan sepatu bot. Beberapa kali juga kami melewati atap gua yang sangat rendah sehingga hanya bisa dilalui dengan merunduk.

Semua jerih payah itu sebanding dengan keindahan yang tersaji. Ada banyak hiasan alam seperti stalagtit, stalagmit, pilar, kanopi, gordam, dan flowstone yang tingginya bahkan lebih dari 2 meter.

Mengingat hiasan alam ini hanya tumbuh 3 mm (0,12 inci) per tahun, terbayang kesabaran alam untuk membentuk kecantikan dirinya. Gua ini pun seolah-olah memang senang menerima tamu karena adanya sebuah chamber (ruang besar) lainnya yang terletak sekitar 200 meter sebelum mulut keluar gua.

Para penelusur biasa rehat sejenak di sana. Kami sendiri duduk sambil menikmati kopi yang diseduh di tempat oleh Alex.

Di situ pula kami sejenak mematikan seluruh perlengkapan penerangan untuk benar-benar merasakan gulita di perut bumi. Waktu seakan tidak berjalan jika saja tidak ada bunyi tetesan air di bebatuan.

Di sisi lain, ternyata rehat itu juga momen yang penting bagi fisik. Bagaimana tidak, medan menuju pintu keluar nyatanya begitu berat. Kubangan lumpur setinggi dengkul jauh lebih menguras tenaga ketimbang perjalanan 1,8 km sebelumnya.

Tiba di mulut gua, langit ternyata sudah menjelang sore dengan sisa rintik hujan. Penelurusan selama sekitar 5 jam itu jelas petualangan yang tidak akan terlupa.

Keindahan dan misteri alam begitu berlimpah di Nusantara ini. Tinggal bagaimana kita menikmati tanpa merusak sesuatu pun. (M-3)

Baca Juga

Video Lainnya