10/9/2016 09:07

Reklamasi untuk Semua

PEMBANGUNAN yang mandek di tengah jalan bisa lebih buruk daripada ketiadaan pembangunan. Hasil pembangunan separuh jalan yang tak bisa dimanfaatkan tentu akan terbengkalai. Duit yang dipakai untuk membangun terbuang percuma. Baik investor, rakyat, maupun negara harus menghadapi ketidakpastian.

Ketidakpastian akan merugikan investor. Itu akan berdampak pada reputasi negara di mata investor, baik dalam negeri maupun terlebih asing. Rakyat yang semestinya menjadi penerima utama manfaat pembangunan batal menikmatinya.
Dalam konteks itulah, kita mempertanyakan status proyek reklamasi pantai utara Jakarta. Pada April 2016, pemerintah memutuskan menghentikan sementara atau moratorium reklamasi Teluk Jakarta. Akan tetapi, pemerintah melalui Menteri Koordinator Bidang Maritim Luhut Binsar Pandjaitan, kemarin, secara resmi menyatakan proyek reklamasi dilanjutkan. Kita mengapresiasi keputusan pemerintah karena itu akan menghadirkan kepastian. Keputusan itu semestinya diambil setelah para pemangku kepentingan menyelesaikan persoalan yang menggelayuti proyek reklamasi, yakni persoalan teknis, yuridis, dan lingkungan hidup.

Dari sisi teknik, reklamasi dikhawatirkan membahayakan PLTU. Namun, dengan rekayasa teknis, persoalan tersebut semestinya bisa diatasi. Pemerintah sudah mendapat penjelasan ihwal aspek teknik itu dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Perusahaan Listrik Negara, SKK Migas, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Institut Teknologi Bandung (ITB), serta TNI Angkatan Laut.

Dari segi hukum, proyek reklamasi ‘menanggung’ tumpang-tindih peraturan ihwal siapa yang berwenang menerbitkan izin reklamasi. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang dipertegas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 mengamanatkan persetujuan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan serta Kementerian Kelautan dan Perikanan terkait dengan reklamasi.

Namun, Keppres Nomor 52 Tahun 1995 menegaskan wewenang dan tanggung jawab reklamasi ada pada gubernur. Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama menerbitkan izin reklamasi dengan berpegang pada keppres tersebut. Peraturan jelas produk negara. Oleh karena itu, negara yang harus mencari jalan keluar dari tumpang-tindih peraturan tersebut. Menko Maritim Luhut Binsar Pandjaitan menegaskan pemerintah konsisten berpegang pada Keppres Nomor 52 Tahun 1995 yang menyatakan wewenang dan tanggung jawab proyek reklamasi ada pada gubernur.

Terkait dengan aspek lingkungan, proyek reklamasi semestinya bukan cuma tidak mengganggu lingkungan atau ekosistem atau membuatnya semakin parah, melainkan juga harus sanggup memperbaiki lingkungan yang telanjur rusak. Kita tahu lingkungan pantai utara Jakarta sudah rusak parah. Proyek reklamasi semestinya mampu menyelesaikan atau setidaknya mengurangi kerusakan lingkungan hidup, sebagaimana yang terjadi pada reklamasi Marina Bay di Singapura.
Pembangunan pada akhirnya harus bisa dinikmati sebesar-besarnya oleh rakyat. Pembangunan mesti menyejahterakan rakyat. Begitu pun dengan proyek reklamasi yang harus menyejahterakan rakyat. Ini menjadi tugas Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.

Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama sesungguhnya sudah mengusahakan pemenuhan kesejahteraan rakyat itu lewat rancangan peraturan daerah yang mewajibkan pengembang menyetor kontribusi yang akan digunakan untuk pengadaan fasilitas sosial dan fasilitas umum, misalnya perumahan untuk nelayan. Namun, kita tahu ada korupsi oleh anggota DPRD dalam penyusunan raperda tersebut. Itulah yang sesungguhnya menjadi pangkal kekarut-marutan proyek reklamasi sehingga harus dimoratorium.

Kesengkarutan proyek reklamasi ini menjadi pelajaran berharga bagi bangsa ini untuk lebih memperhatikan aspek hukum, teknik, lingkungan, kepastian berinvestasi, kesejahteraan rakyat, dan reputasi negara. Perhatian terhadap semua aspek tersebut akan menjadikan setiap proyek pembangunan, termasuk reklamasi, bermanfaat bagi semua. Tugas kita ialah mengawal apakah semua aspek tersebut sudah dipenuhi.

Baca Juga

Video Lainnya