03/8/2016 20:40

Anak Sehat Aset Masa Depan

Zen

INDONESIA diprediksi mengalami ledakan jumlah penduduk usia produktif (15-64 tahun) atau dikenal dengan istilah bonus demografi pada 2020-2030 mendatang. Keberhasilan untuk menghadapi tantangan tersebut sangat ditentukan oleh kesiapan kelompok penduduk usia anak (0-18 tahun) yang ada saat ini.

Namun ironisnya, sejumlah persoalan yang dialami anak-anak Indonesia sekarang ini masih menjadi momok bagi keberlangsungan hidup masyarakat di Tanah Air.

Ini bisa dilihat dari masalah kesehatan anak akibat kekurangan gizi yang kemudian dimanifestasikan dalam bentuk pertumbuhan anak yang menyimpang dari standar.

Padahal, Menteri Kesehatan (Menkes) Nila F Moeloek beberapa kali kerap mengatakan masa depan suatu bangsa sangat tergantung pada keberhasilan anak dalam mencapai pertumbuhan dan perkembangan secara optimal. Jika pertumbuhan dan perkembangan anak tidak optimal, justru bakal menjadi ancaman di masa depan.

“Anak-anak adalah aset yang harus kita jaga. Kita introspeksi apakah generasi ke depan bisa betul-betul menjadi generasi yang sehat dan berkualitas atau tidak,” ungkap Menkes saat membuka Diskusi Nasional bertemakan Kurang gizi terselubung menuai generasi hilang-bagaimana peran perempuan Indonesia, di Jakarta, Rabu (27/7).

Akan tetapi, Nila menjelaskan, yang terjadi saat ini Indonesia belum benar-benar terbebas dari masalah kesehatan anak. Terlihat dari hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013, misalnya menunjukkan prevalensi kurang gizi dan pendek (stunting) di Indonesia yang masih tinggi, yaitu masing-masing 19,6% dan 37,2%.

“Ini menunjukkan kualitas kesehatan anak-anak kita perlu ditingkatkan agar preva­lensi tersebut menurun,” kata Menkes.

Oleh karena itu, jelas Menkes, dalam rangka momentum memperingati Hari Anak Nasional (HAN) 2016, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) mengajak seluruh elemen masyarakat untuk meningkatkan kualitas kesehatan anak, antara lain melalui kegiatan talkshow, dialog nasional, serta kampanye anak sehat.

“Kita bisa jadikan ini sebagai momentum untuk bersama-sama mengatasi masalah kesehatan anak agar ke depan tidak ada lagi kasus anak kurang gizi ataupun kelebihan gizi,” ucap Menkes.

Pasalnya, lanjut Menkes, Indonesia saat ini juga tengah mengalami apa yang disebut dengan double burden dalam dunia gizi. Double burden yang dimaksud di sini ialah pada satu sisi angka obesitas terus meningkat, tetapi sisi lain kecenderungan anak yang menderita kurang gizi juga kerap tinggi.

Menurut Nila, masalah gizi itu dapat dipengaruhi secara langsung oleh konsumsi makanan dan penyakit infeksi. Akan tetapi, tidak jarang juga disebabkan pengaruh dari luar, seperti pola asuh, keter­sediaan dan konsumsi pangan beragam, sosial ekonomi, budaya, dan politik.
“Jika hal itu tidak segera diatasi tentunya bisa berdampak pada upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia Indonesia di masa yang akan datang,” tutur dia.

Sebagai salah satu solusi­nya, ungkap Menkes, pemerintah saat ini telah memasukkan perbaikan gizi ke dalam rencana pembangunan jangka menengah nasional (RPJMN) 2015-2019. Kemudian, diperkuat Peraturan Presiden No 42/2013 yang mencantumkan gerakan nasional percepatan perbaikan gizi dalam rangka 1000 hari pertama kehidupan (Gerakan 1000 HKP).


Defisiensi gizi

Direktur Kesehatan Keluarga Kemenkes Eni Gustina menyampaikan potensi genetik seseorang dapat menentukan kualitas kesehatan seseorang. Meski begitu, perlu diperhatikan juga masalah kekurangan gizi, termasuk gizi mikro yang bisa mengganggu kualitas tumbuh kembang anak.

“Defisiensi zat gizi mikro dalam jangka yang lama, selain meningkatkan angka kesakitan serta kematian, juga bisa memengaruhi gangguan serius pada tumbuh kembang anak,” tukasnya.

Terkait dengan masalah zat gizi mikro tersebut, Eni mengakui Indonesia sudah bisa mengontrol kasus-kasus kekurangan vitamin A dan gangguan akibat kekurangan iodium. Namun, dalam mengatasi persoalan anemia gizi besi, pemerintah masih perlu bekerja keras.
Menurut Eni, tantangan cukup besar terdapat pada kasus ibu hamil yang menderita anemia gizi besi. Di Indonesia, cakupan kebutuhan ibu hamil dalam mengonsumsi tablet penambah darah terbilang rendah, yakni 33,2% pada 2013.

Hasil Riskesdas pada tahun yang sama juga menyebutkan masalah anemia gizi besi pada ibu hamil mempunyai prevalensi yang masih tinggi, yaitu 37,1%. Begitu pula, prevalensi anemia pada anak balita cukup tinggi, yakni sebesar 28,1%.
“Tugas kita bersama untuk menjamin kesehatan anak mulai sejak dalam kandungan hingga proses tumbuh kembangnya demi masa depan bangsa,” pungkas Eni. (Puput Mutiara/S-25)

Baca Juga

Video Lainnya