10/4/2016 00:05

Menukik Selincah Burung

Suara deru motor terdengar begitu mesin dihidupkan. Perlahan-lahan pesawat mungil yang ditumpangi dua orang tersebut berjalan dan melaju kian kencang. Sampai pada satu titik, ketiga roda pesawat pun mulai tinggal landas dari landasan udara di Pantai Depok, Kabupaten Bantul. Pada Jumat-Minggu (25-27 Maret), banyak pesawat-pesawat berukuran mungil yang berseliweran di sekitar Pantai Depok untuk memeriahkan helatan Jogja Air Show 2016. Pesawat-pesawat itu bukanlah pesawat komersial, melainkan pesawat yang digunakan untuk kegiatan olahraga dirgantara. Namanya Microlight. Bentuknya sekilas seperti gantole, yang memiliki sayap di bagian atasnya. Hanya, di bawah sayapnya terdapat kursi untuk duduk pilot dan penumpang serta mesin pendorong. “Kalau gantole mengandalkan tenaga angin, sedangkan kalau ini kita pakai mesin sehingga bisa terbang lebih jauh daripada gantole,” kata Budi Arianto, mekanik dan pilot microlight yang juga pernah me­nerbangkan paralayang, paramotor, dan gantole. Walau microlight bisa terbang lebih jauh dari paralayang, paramotor, dan gantole, tiap-tiap olahraga dirgantara memiliki sensasi yang berbeda-beda. Sesuai dengan namanya, bobot pesawat ini tidak berat, hanya sekitar 400 kilogram. Pesawat ini bisa mengangkut penumpang dengan berat maksimum 200 kilogram.

Namun, harga microlight tidak sebanding lurus dengan beratnya. Harganya terbilang mahal, yaitu berkisar Rp150-450 juta untuk microlight bekas, sedangkan yang baru berkisar Rp750 juta hingga Rp1,5 miliar. Budi Arianto menyebut kapasitas tangki microlight sekitar 65 liter yang bisa digunakan untuk terbang hingga sekitar 4 jam. Ia pun mengaku pernah beberapa kali terbang bersama dengan rekan-rekannya ke luar Yogyakarta, Bandung, Jakarta, Jember, hingga Lampung. “Kemampuan jarak tempuhnya tergantung cuaca. Kalau tujuan terbangnya sesuai dengan arah angin tentu waktu terbangnya lebih cepat,” kata dia. Contohnya, saat terbang dari Yogyakarta-Lampung, jika dihitung tanpa berhenti, lama perjalanan sekitar 7 jam. Mereka sempat berhenti di Cirebon untuk mengisi bahan bakar dan di Jakarta untuk bermalam. Bahan bakar pertamax plus yang dihabiskan sepanjang perjalanan sekitar 18 liter per jam.

Untuk kemampuan terbang, microlight dapat terbang hingga belasan ribu kaki. Semua itu, kata dia, disesuaikan dengan fisik si penerbang. Pasalnya, semakin tinggi microlight terbang, semakin tipis oksigen yang dihirup. “Saya pernah tebang hingga 12 ribu feet. Saat itu saya berada di atas Merapi dan hanya terbang sekitar 10 menit,” kata Budi. Jika tertarik dengan olahraga ini, Anda sebaiknya bergabung dengan perkumpulan microlight sehingga pengetahuan dan kemampuan bisa dilatih bersama dengan rekan-rekan yang sudah berpengalaman. Di Yogyakarta, pecinta olahraga microlight sejak 2003 yang lalu membentuk Jogja Flying Club. Kini anggota yang aktif ada sekitar 36 orang. Setiap Sabtu-Minggu atau hari libur, mereka terbang dari Adi­sutjipto ke beberapa tempat di Yogyakarta dan sekitarnya, seperti ke Pantai Depok, Pantai Baron, dan Borobudur.

Nyaman dan mengasyikkan
Ketua Microlight dan Swayasa, Federasi Aero Sport Indonesia (FASI) Daerah Istimewa Yogyakarta, Subagyo, mengatakan pada prinsipnya olahraga terbang sama-sama mengasyikkan dan tidak berbahaya selama mematuhi aturan yang ada. Ia pun berharap olahraga dirgantara, terutama microlight, dapat semakin memasyarakat. Walau terbang hanya sekitar 10 menit, kepuasan pun disampaikan oleh Hario Sakti, Mira Sri Yuanda, dan Adiv Ribchan seusai terbang pertama kali dengan microlight. Ketiga mahasiswa itu berkesempatan ikut joyflight (terbang wisata) dengan pesawat microlight. Dari ketinggian, mereka menyaksikan keindahan Parangtritis, Parangkusumo, dan Pantai Depok. Hario mengaku merasa berdebar ketika pesawat hendak tinggal landas. Namun, begitu mengudara, semuanya berubah. Terlebih microlight bisa bermanuver lincah. “Rasanya puas. Ini pertama kali terbang dengan microlight. Ini lebih menantang karena bisa naik turun,” kata pria yang sebelumnya pernah terbang tandem dengan gantole. Sementara itu, Mira menilai terbang dengan microlight lebih nyaman jika dibandingkan dengan gantole. Kepuasan juga terlihat di wajah. “Ini lebih nyaman dari paralayang yang harus menyesuaikan dengan arah angin,” katanya bersemangat. (M-3)

Baca Juga

Video Lainnya