Headline
Pemerintah belum memastikan reshuffle Noel.
MASIH ingatkah beberapa tahun silam ketika layanan mobil travel antarkota menjadi pilihan alternatif favorit masyarakat untuk bepergian?
Sayangnya, meski menjadi unggulan, masih banyak keluhan yang dirasakan pelanggan.
Kala itu, pemesanan hanya bisa dilakukan secara langsung di pool mobil travel bersangkutan atau lewat telepon.
Mendatangi pul travel tentu saja jauh dari praktis.
Setelah menempuh perjalanan ke sana, belum dapat dipastikan bahwa akan masih ada kursi yang tersedia.
Di sisi lain, pemesanan lewat telepon pun sering terkendala.
Saya termasuk salah satunya, yang kerap dilanda frustrasi menelepon berbagai jasa travel satu per satu karena sering mendapati telepon yang dituju sedang sibuk.
Namun, Selasa (25/7) ini, saya menyadari transformasi digital telah merambah bisnis mobil travel pula.
Situs layanan mobil travel kini tidak hanya berisi jadwal dan lokasi keberangkatan, tetapi juga pemesanan tiket secara daring (online).
Tidak hanya memilih jadwal keberangkatan, saya bahkan bisa memilih sendiri posisi kursi dalam mobil, juga metode pembayarannya.
Semua kemudahan itu bisa dirasakan di banyak lini bisnis belakangan ini karena mereka mengadopsi digitalisasi.
Pilihan untuk turut melakukan digitalisasi itu pun tampaknya tepat, sebab berdasarkan hasil riset Pure Storage, solusi digital rata-rata mendorong tercapainya 47% dari pendapatan perusahaan.
Hampir 70% dari 200 bisnis di Indonesia yang terjaring sebagai responden mengungkap lebih dari separuh pendapatan yang mereka kantongi dihasilkan dari arus-arus digital pada bisnis.
Platform solusi digital yang paling banyak digunakan ialah untuk komunikasi internal (75%), manajemen catatan pelanggan atau riwayat pembelian (72%), dan layanan pelanggan (69%).
Setidaknya ada empat faktor yang mendorong adopsi solusi digital.
Pertama ialah kebutuhan untuk cepat berinovasi (53%), untuk menghemat anggaran bisnis (51%), sebagai respons dari tuntutan pelanggan (49%), dan untuk menciptakan model bisnis yang baru (47%).
Cloud
Lantas apa konsekuensi dari transformasi digital yang terjadi?
Semua perubahan itu membuat bisnis masa kini mempunyai banyak data digital yang perlu dikelola.
Berdasarkan estimasi teranyar, jumlah volume data yang tercipta khusus di 2020 saja akan mencapai sekitar 50 zettabytes (ZB).
Lima tahun kemudian, yakni di 2025, data yang tercipta diestimasikan akan mencapai 180 ZB.
Estimasi ini jauh melebihi prakiraan jumlah data yang tercipta di 2016, yaitu sebesar 4 ZB saja.
Karena data yang besar itu, penyimpanan cloud lazim menjadi pilihan.
Apalagi karena penyimpanan cloud memungkinkan penggunanya untuk mengakses, berbagi, dan menyinkronkan data ataupun dokumen dari jarak jauh.
Sayangnya, berdasarkan riset Pure Storage yang bertajuk Evolution: The Data Economy Report 2017, setelah lebih dari 10 tahun pemanfaatan cloud, nyatanya pasar masih kebingungan memilih strategi optimal untuk penyimpanannya.
Kondisi itu diperburuk dengan masih belum jelasnya arah kebijakan berbagai negara terkait dengan solusi digital dan penyimpanan data perusahaan.
Mereka pun berupaya mencari bentuk solusi digital yang sesuai untuk masa depan ketimbang pilihan kompromi yang tergesa-gesa.
"Jelas bahwa transformasi digital bukan gembar-gembor semata. Ini nyata adanya dan benar-benar terjadi. Transformasi digital akan berimbas pada seluruh bisnis di kawasan ini dalam jangka waktu beberapa tahun mendatang sehingga memaksa mereka untuk berhitung kembali soal cara dan waktu mereka dalam mengoleksi serta memanfaatkan data," tutur Chua Hock Leng, Managing Director for ASEAN and Taiwan, Pure Storage.
Bingung memilih
Meski sebelumnya jumlah perusahaan yang memindahkan pekerjaannya ke public cloud sangat signifikan, kebanyakan kemudian memilih memindahkannya kembali ke on-premise alias menyimpan data di server perusahaannya sendiri.
Hal ini sudah dilakukan 40% perusahaan di Amerika Utara, Asia Pasifik, dan Jepang.
Di Eropa, Timur Tengah, dan Afrika, sebanyak 65% telah mengurangi penggunaan public cloud dalam 12 bulan terakhir.
Patut diakui, public cloud menghemat banyak biaya dan penggunaannya mudah.
Namun, kekhawatiran akan keamanan data yang disimpan di public cloud mendorong penggunanya untuk beralih.
Sebaliknya, keamanan adalah daya tarik utama dari on-premise.
Kekurangannya terletak pada biaya yang harus dikeluarkan perusahaan.
Menyimpan data secara off-premise mengeksposnya kepada sejumlah pengguna yang mungkin tidak diharapkan perusahaan, mulai investigator pemerintah, lembaga penegak hukum, pengacara, peretas, bahkan vendor yang menjual data.
Di sisi lain, sekali data disimpan dalam server pihak ketiga, maka biasanya data itu akan selamanya di sana.
Menghapusnya dari akun pengguna tidak otomatis menghapus data dari storage.
Pada solusi self-hosted private cloud (on-premise), IT perusahaan akan tahu persis letak data disimpan dan siapa yang memiliki akses ke data tersebut.
Ini berbeda dengan produk berbasis public cloud, data bahkan bisa saja disimpan di luar negara penggunanya.
Hal ini bisa memancing kendala aturan hukum.
Di sisi lain, risiko kebocoran data, kerentanan keamanan, dan kehancuran bisnis bisa jadi lebih besar.
Apalagi ada juga negara yang menyatakan penyimpanan data di negara lain itu melanggar hukum.
Hasil riset Pure Storage menunjukkan tidak ada solusi tunggal yang tepat bagi semua perusahaan, dalam kaitannya dengan pilihan penyimpanan data digital.
Mereka menyarankan public cloud, private cloud, ataupun on-premise bisa digunakan perusahaan dalam waktu bersamaan.
Kehadirannya mesti saling melengkapi, bukan menyaingi. Yang perlu perusahaan pertimbangkan ialah data-data mana saja yang layak disimpan di jenis cloud berbeda, dengan melihat tingkat sensitivitas data tersebut.
(M-4)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved