MENJELANG peringatan Hari Ulang Tahun (HUT) ke-80 Kemerdekaan Republik Indonesia, fenomena pengibaran bendera bajak laut dari anime One Piece, yakni Jolly Roger, menjadi perbincangan hangat. Di berbagai tempat—dari pemukiman hingga puncak gunung—bendera tersebut tampak berkibar berdampingan dengan Sang Merah Putih. Bagi banyak anak muda, Jolly Roger bukan sekadar lambang dari fandom atau hiburan, tetapi merepresentasikan nilai-nilai seperti kebebasan, solidaritas, dan semangat melawan ketidakadilan. Dalam dunia One Piece, karakter utama Luffy dan kru Topi Jerami dikenal sebagai pembela kaum tertindas dan penentang kekuasaan yang korup. Tak heran jika simbol ini dianggap mencerminkan perlawanan terhadap penindasan dalam kehidupan nyata.
Pakar budaya pop dan sosiolog memandang fenomena ini sebagai bentuk ekspresi generasi muda yang mengadopsi nilai-nilai dari budaya populer ke dalam ruang sosial dan politik mereka. Tren ini juga viral di media sosial dengan berbagai tagar seperti #BenderaLuffy dan #JollyRoger17an, memperlihatkan video pengibaran Jolly Roger bersama Merah Putih dalam suasana semangat kemerdekaan. Namun, dari sisi regulasi, ada potensi pelanggaran yang perlu diperhatikan. Undang-Undang No. 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan melarang tindakan yang merendahkan kehormatan Bendera Negara, termasuk menempatkan bendera lain sejajar atau lebih tinggi dari Merah Putih. Karena itu, beberapa kalangan menilai bahwa meskipun pengibaran Jolly Roger bukan tindakan makar, penempatannya tetap harus mematuhi norma hukum dan etika nasional.