Headline

Presiden memutuskan empat pulau yang disengketakan resmi milik Provinsi Aceh.

Fokus

Kawasan Pegunungan Kendeng kritis akibat penebangan dan penambangan ilegal.

Politisasi Kepemimpinan Berlatar Agama Melanggar Konstitusi

Golda Eksa
11/3/2017 21:00
Politisasi Kepemimpinan Berlatar Agama Melanggar Konstitusi
(MI/Susanto)

FENOMENA politisasi agama pada perhelatan pesta demokrasi berpotensi merusak sendi-sendi kebangsaan. Harus diperhatikan bahwa dasar negara Indonesia bukan pada agama tertentu, melainkan Pancasila dan UUD 1945.

Demikian penegasan Ketua Umum Gerakan Pemuda Ansor Yaqut Cholil Qoumas di sela-sela acara Bahtsul Masail Kiai Muda, di Kantor Pimpinan Pusat (PP) GP Ansor, Jalan Kramat Raya Nomor 65A, Jakarta Pusat, Sabtu (11/3).

"Kita memegang kaidah fikih. Jadi, kepemimpinan yang kita anut yaitu yang bisa memberikan maslahat, manfaat kepada masyarakat. Kita tidak melihat label agama, suku, ras, dan lainnya," ujar Yaqut.

Ia menjelaskan, hasil pembahasan dari forum kajian bertajuk 'Kepemimpinan Non-Muslim di Indonesia' itu bakal diedukasikan dengan pola sosialisasi secara serentak di penjuru Tanah Air. Intinya, agama harus dikembalikan pada fitrahnya dan bukan dimanfaatkan pada ajang kontestasi politik.

Salah satu sendi kebangsaan yang terancam dengan fenomena polemik kepemimpinan berlatar agama adalah Kebinekaan Indonesia. Padahal, NKRI memiliki 210 juta penduduk, serta 1.128 suku bangsa, 6 agama resmi, dan ribuan aliran kepercayaan lokal.

Keberagaman itu, terang dia, merupakan sebuah hadiah terindah sekaligus bencana terburuk apabila tidak dikelola dengan baik. GP Ansor merasa turut bertanggungjawab untuk meluruskan berbagai pemahaman keislaman, termasuk mencari solusi terbaik guna mengatasi polemik terkait kepemimpinan nonmuslim yang telah menyita energi bangsa.

"Untuk itulah GP Ansor melalui kiai-kiai muda yang tergabung di dalamnya bermaksud merumuskan istinbat hukum Islam yang dapat menjadi referensi bagi masyarakat muslim untuk menunaikan hak politiknya dalam memilih pemimpin."

Pendapat haramnya memilih pemimpin 'kafir' juga telah berkembang subur di kalangan kelompok Islam fundamentalis. Mereka memandang bahwa menolak pemimpin nonmuslim adalah bagian dari jihad yang wajib dilakukan oleh setiap muslim.

Bahkan, polemik yang berawal dari kasus dugaan penistaan agama dengan terdakwa calon Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok juga telah memunculkan berbagai kontroversi, khususnya di kalangan muslim berlabel moderat seperti Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah.

Sebagian menyatakan bahwa Islam secara tegas melarang muslim memilih pemimpin nonmuslim sebagai pemimpinnya. Namun, ada pula yang menilai memilih pemimpin nonmuslim adalah sah dan tidak melanggar syariat Islam. Kontroversi itulah yang akhirnya menjadi perdebatan panjang hingga saat ini.

"Sebenarnya kontestasi pilkada dan problem politisasi agama bukan hanya terjadi di Jakarta. Namun, karena Jakarta adalah sentra informasi, sehingga hal ini seakan menjadi besar, mendapat perhatian banyak orang. Politisasi agama seperti di Jakarta sudah berlebihan," pungkas dia. OL-2



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya