Headline

AS ikut campur, Iran menyatakan siap tutup Selat Hormuz.

Fokus

Tren kebakaran di Jakarta menunjukkan dinamika yang cukup signifikan.

Pulihkan Demokrasi Presidensial

Astri Novaria
22/5/2018 07:20
Pulihkan Demokrasi Presidensial
(Tim Riset Mi/L-1/ Grafis : CAKSONO)

DALAM perjalanan 20 tahun reformasi, Indonesia banyak mengalami perubahan.

Meskipun demikian, Indonesia sebagai sebuah negara-bangsa masih belum menggapai kematangan atau kemapanan. Bangsa ini masih berusaha keras mencapai pertumbuhan dan pemerataan ekonomi.

Demokrasi yang kita capai pun dianggap kebablasan. Empat kali amendemen UUD 1945 dinilai berlebihan. Dalam konstitusi, demokrasi kita berwujud presidensial, tetapi pada praktiknya amat kental nuansa parlementernya.

Ketua DPP Partai Golkar, Ace Hasan Syadzily, mengakui Indonesia belum utuh menerapkan sistem presidensial murni karena ada ketergantungan presiden terhadap dukungan parlemen.

Menurut Ace, kondisi itu mengharuskan pemerintah membangun koalisi parpol untuk meraup dukungan mayoritas di parlemen. Jika tidak, pemerintah sulit menciptakan efektivitas pemerintahannya.

Salah satu upaya mewujudkan sistem presidensial murni ialah dengan mendukung presidential threshold 20% kursi DPR atau 25% perolehan suara nasional sebagai syarat utama untuk mengusung capres-cawapres pada pemilu.

"Itu ikhtiar menjaga efektivitas presidensial murni. Idealnya, kalau mau memulihkan sistem presidensial murni, jumlah partai politik tidak terlalu banyak sehingga bisa mengurangi kecenderungan legislative heavy," kata Ace.

Walaupun kadang menghambat kinerja pemerintah, lanjut Ace, demokrasi presidensial rasa parlementer menjadi bagian dari proses trial and error. "Saya pikir tidak perlu melakukan amendemen UUD 1945 lagi untuk mengembalikan sistem presidensial. Bisa disiasati misalnya bagaimana kita menyederhanakan (jumlah) parpol."

Hal senada juga disampaikan Ketua DPP PDI Perjuangan Andreas Hugo Pareira. Pareira menilai sistem presidensial tapi beraroma parlementer merupakan konse-kuensi dari sistem multipartai. Oleh karena itu, parlemen menjadi punya kekuasaan untuk ikut memengaruhi jalannya pemerintahan.

"Dalam kaitan dengan DPR, di sini tantangannya bahwa koalisi pendukung pemerintah harus solid. Kalau tidak, pemerintah menghadapi kesulitan ketika mengambil keputusan," ujar Pareira.

"Ke depan, di parlemen tidak usah banyak partai. Jumlah partai yang sedikit memungkinkan efektivitas parlemen termasuk dukungan kepada pemerintahan. Pemilihan presiden dan legislatif yang bersamaan semoga membuat pemerintahan lebih stabil," lanjut Pareira.

Pendanaan parpol

Dalam penilaian pakar hukum tata negara, Irmanputra Sidin, untuk memulihkan sistem demokrasi presidensial di Indonesia dapat dimulai dengan memperbaiki pendanaan partai politik melalui APBN.

"Perbaikan kualitas pendanaan parpol akan membentuk koalisi permanen. Koalisi yang dibangun saat ini lebih didasari kesamaan kepentingan untuk berkuasa, bukan karena kesamaan platform. Pendanaan parpol yang baik melalui APBN juga mendorong kemandirian. Jangan ada lagi parpol yang dibiayai oleh kelompok, perorangan, atau korporasi," ungkap Irman.

Dalam acara Refleksi 20 Tahun Reformasi kemarin, Ketua MPR Zulkifli Hasan menyatakan pencapaian cita-cita reformasi masih jauh dari harapan, baik dari sisi hukum, ekonomi, maupun politik.

"Benar karena reformasi rakyat bisa memilih langsung pemimpinnya. Tetapi apakah lalu tidak ada transaksi? Sudah saatnya merumuskan kembali arah reformasi," kata Zulkifli.

Di sisi lain, Ketua DPR Bambang Soesatyo mendorong pemerintah untuk mengevaluasi dan memperbaiki bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan, keamanan, dan pendidikan. (Ant/*/X-3)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Kardashian
Berita Lainnya