Headline
Pemerintah belum memastikan reshuffle Noel.
RENCANA Pemerintah menghadirkan kembali pasal penghinaan presiden dalam revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) menuai polemik karena dianggap tidak sejalan dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Pro dan kontra bahkan juga terjadi di internal DPR RI.
Anggota Komisi III dari Fraksi Partai NasDem, Taufiqulhadi meminta masyarakat tidak khawatir pasal ini akan mengganggu kebebasan berekspresi dan berpendapat seseorang. Sebab, kata dia, pada Pasal 239 ayat (2) dalam draft RKUHP ditegaskan bahwa tidak merupakan penghinaan jika perbuatan sebagaimana dimaksud jelas dilakukan untuk kepentingan umum atau pembelaan diri.
"Kalau untuk demokrasi, tidak termasuk (penghinaan). Jadi kita membuat UU harus kompatibel dengan perkembangan saat ini. Tidak usah khawatir. Saya sebagai mantan wartawan dan politisi juga awalnya khawatir kalau demokrasi tidak hidup di Indonesia. Bayangkan, jika seorang politisi dihambat sana-sini akan merusak semuanya. Tentu kita sangat hati-hati terhadap hal tersebut," ujar Taufiq di Gedung DPR RI, Jakarta, Selasa (6/2).
Ia juga setuju jika pasal ini masuk delik umum. Lebih lanjut kata Taufiq, untuk meminimalisir kesewenang-wenangan penegak hukum terhadap pasal ini, ia setuju dengan usulan dari Poksi Fraksi PPP untuk menurunkan ancaman pidananya.
"Nanti pidananya tidak lima tahun berdasarkan metode Delphi system jatuhnya 2 - 2,5 tahun. Dengan demikian, setiap orang yang dituduh melakukan penghinaan tidak serta merta ditangkap karena pidananya di bawah lima tahun. Kalau lima tahun pidananya langsung ditahan," tandasnya.
Adapun Delphi system adalah sistem yang menentukan besaran ancaman pidana berdasarkan penggolongan tindak pidana terlebih dahulu. Secara mendasar setidaknya ada tiga penggolongan tindak pidana, yakni pidana berat, sedang, dan ringan.
Jenis tindak pidana akan terlebih dahulu dimasukan ke penggolongan tindak pidananya dan disesuaikan dengan lamanya ancaman pidana yang dikenakan. Hal ini dilakukan untuk mencegah penentuan pidana hanya berdasarkan tawar-menawar para pembuat undang-undang.
Menurutnya, equality before the law atau kesetaraan hukum juga harus diberlakukan kepada Presiden. Bahkan, sambung dia, jika ada seorang melakukan penghinaan atau pencemaran nama baik kepada pegawai negeri atau pejabat negara yang sedang menjalankan tugasnya pun juga dipidana.
"Masa Presiden tidak boleh? Itu harus dilihat betul-betul. Jangan kita selalu bilang kesetaraan hukum tetapi tidak benar-benar mempelajarinya. Ini akan dibahas di Panja dan nanti akan ada pandangan fraksi-fraksi mengenai pasal-pasal ini," pungkasnya.
Sementara itu, Anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Nasir Djamil mengatakan Indonesia adalah negara hukum yang demokratis, sehingga dua bandul itu harus dijaga dengan seimbang. Ia meminta meski sebagai negara hukum tidak boleh mematikan demokrasi. Sebaliknya tidak boleh mengagungkan demokrasi dan mengabaikan hukum.
"Termasuk Presiden harus dihormati. Tapi di sisi lain, rakyat punya hak untuk mengkritik dan mengoreksi kebijakan-kebijakannya. Oleh karena itu, DPR dan Pemerintah dalam pandangan saya ingin mengajukan bagaimana negara hukum ini dikelola secara demokrasi dan dibingkai dengan hukum," paparnya.
Ia paham pertimbangan pemerintah terhadap pasal ini kembali dimasukan dalam RKUHP, tetapi ia berharap pasal ini tidak masuk dalam delik umum melainkan delik aduan.
"Untuk menjembatani ini disepakati delik aduan. Kalau tidak bahaya ini satu sama lainnya. Kalau tidak delik aduan banyak yang cari muka kepada presiden dan bisa disikat terus semua orang ini. Kalau Presiden merasa terhina dan direndahkan, bisa melaporkan dan tentu jika ada pembuktiannya," pungkasnya. (OL-3)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved