Headline
Koruptor mestinya dihukum seberat-beratnya.
Transisi lingkungan, transisi perilaku, dan transisi teknologi memudahkan orang berperilaku yang berisiko.
KIRA-KIRA di pertengahan abad ke-19, Abraham Lincoln, Presiden Amerika Serikat (AS) di kala itu, konon berkata, “Most people can bear adversity. But if you wish to know what a man really is, give him power. This is the supreme test.” Ada beberapa versi dari kutipan terkenal ini. Namun, semuanya diatribusikan kepada Lincoln.
Kurang lebih Lincoln menyatakan bahwa kebanyakan orang mampu menanggung beban hidup yang berat. Akan tetapi, kualitas seorang manusia—biasanya ditafsirkan dalam konteks kapasitas kepemimpinan—akan ketahuan kalau dia mendapat kekuasaan. Itulah ujian yang sesungguhnya.
Kutipan ini menjadi sangat terkenal—misalnya jika kita cari di mesin pencari Google akan muncul banyak sekali pilihan—pada dasarnya karena seiring-sejalan dengan pengalaman banyak orang di berbagai belahan dunia. Ada banyak juga ungkapan-ungkapan senada dari sumber yang berbeda. Intinya adalah bahwa kekuasaan cenderung membutakan atau membuat lupa diri seseorang atau kelompok dan cenderung disalahgunakan (abuse of power).
Ketika kini banjir terjadi di mana-mana, masalah yang rutin di setiap musim hujan, apalagi di ibu kota Jakarta—pikiran, mata, dan telunjuk kita cenderung kepada para pemimpin. Bahkan tak jarang dengan terang-terangan kita menuding gubernur, bupati, atau wali kota sebagai orang yang paling bertanggung jawab.
Jika becermin pada kata bijak Lincoln di atas, paling kurang ada dua masalah. Pertama, bahwa sang pemimpin tidak sanggup memikul beban kekuasaan yang diemban atau yang kedua tidak amanah dalam menjalankannya. Hal pertama terkait dengan inkompetensi atau ketidakmampuan, dalam berbagai aspeknya, dan yang kedua terkait dengan unaccountability atau ketidakbertanggungjawaban.
Jika belajar dari kisah kepemimpinan Lincoln sendiri, selain kompetensi dan akuntabilitas, sebenarnya juga terdapat apa yang disebut sebagai visi dan moralitas. Visi atau cita-cita Lincoln tentang Amerika yang terbebas dari perbudakan, misalnya, diperjuangkan sepenuh hati dengan menempuh segenap risiko.
Pilihan dan komitmen moral tersebut membawa Lincoln dan keluarganya hidup dalam keterancaman sampai dia sendiri akhirnya dibunuh pada malam 15 April 1865 di Ford’s Theatre, Washington.
Bila menggunakan perspektif perkembangan moral Kohlberg, bisa kita katakan bahwa Lincoln telah sampai pada tahap yang disebut pascakonvensional. Lincoln secara mendarah-mendaging mengutamakan kemaslahatan publik dan bersandar pada prinsip-prinsip etika universal.
Kontrol sosial-politik
Belajar dari kepemimpinan Lincoln, rasanya persoalan banjir yang rutin melanda Indonesia akan bisa diatasi secara bertahap. Tentu saja, dengan kesadaran bahwa terdapat kompleksitas kepemimpinan publik yang berbeda, karena juga berbeda secara wilayah, kultur, dan sebagainya.
Pertama-tama, demokrasi yang kita anut membagi kekuasaan menjadi kekuasaan eksekutif, kekuasaan legislatif, dan kekuasaan yudikatif (trias politika). Pembagian kekuasaan ini salah satunya ialah demi terwujudnya checks and balances atau fungsi saling mengontrol dan menjaga keseimbangan roda penyelenggaraan negara.
Secara awam, ketika terjadi banjir, tudingan dan tanggung jawab tertuju pada pemimpin di barisan eksekutif. Bahwa secara de jure mereka bertanggung jawab, dalam eksekusi hal-hal yang menjadi hajar hidup orang banyak ialah benar. Akan tetapi, semata-mata menuding, menyalahkan, dan meminta pertanggung-jawaban mereka semata-mata ialah salah besar.
Dalam konteks pemerintahan demokratis berbentuk trias politika, seorang Gubernur DKI Jakarta misalnya, berada dalam pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), sebagai representasi formal rakyat dan pengawasan rakyat sendiri. Jika banjir terus-menerus terjadi, apalagi makin memburuk dari waktu ke waktu, itu berarti bahwa para anggota dewan juga tidak menjalankan fungsinya, dan bahwa rakyat sendiri—yang dalam hal ini biasanya direpresentasi civil society—juga tidak menjalankan fungsinya.
Baik di masa belum terjadi banjir, maupun di saat terjadi banjir, checks and balances bisa dikatakan tidak berjalan sebagaimana mestinya. Banjir dan mengatasi banjir, hanya berujung pada empat hal: mengatasi banjir secara instan ketika terjadi, pembahasan langkah-langkah strategis mengatasi banjir mentok sampai wacana saja, berbagai langkah atau proyek mengatasi banjir terhenti atau dihentikan secara diam-diam atau dilakukan sekenanya. Atau, yang keempat perhatian publik dialihkan dari persoalan banjir.
Dalam hal ini, baik pemimpin eksekutif ataupun legislatif sama-sama wajib dipertanyakan visi, moralitas, kompetensi, dan akuntabilitasnya. Gerakan mempertanyakan sendiri semestinya harus dijalankan oleh civil society, yakni segenap warga yang paham, sadar dan peduli akan banjir.
Di setiap wilayah yang terkena banjir di Jakarta, misalnya, harus dibangun gerakan akar rumput, yang tidak saja bertujuan instan untuk mengatasi banjir yang terjadi dan pencegahan swadaya, tetapi juga gerakan untuk kritis dalam memilih wakil rakyat dan pemimpin di wilayahnya. Gerakan-gerakan ini harus resisten dari iming-iming yang bertujuan untuk melumpuhkan mereka dan setelah pesta politik tetap konsisten melakukan fungsi pengawasan.
Waspada komodifikasi
Alih-alih secara bermoral membantu masyarakat korban banjir dan secara sungguh-sungguh berjuang dalam gerakan mencegah banjir, pemimpin politik atau aparatur negara, justru tak jarang melakukan komodifikasi banjir. Gerakan-gerakan akar rumput untuk mengatasi banjir harus waspada dengan tindakan tak bermoral ini.
Secara bahasa komodifikasi berarti ‘transformasi barang, jasa, gagasan, dan orang menjadi komoditas atau objek dagang’. Komodifikasi banjir berarti menjadikan banjir sebagai dagangan politik, atau semata-mata sebagai lahan bagi proyek, untuk keuntungan ekonomi. Bahkan, tak jarang pula komodifikasi banjir dilakukan dengan semacam packaging, dengan membawa-bawa Tuhan atau simbol agama seperti takdir, mukjizat, dan seterusnya.
Pemimpin politik, atau pengusaha, yang melakukan komodifikasi banjir, jika sekali lagi kita becermin pada Abraham Lincoln, secara cepat akan membawa kita pada isu moralitas. Akan tetapi, jika ditimbang lebih dalam, mereka pada dasarnya tidak memiliki visi diri ataupun visi sosial. Visi diri adalah cita-cita mulia bagi diri sendiri yang mengatasi egosentrisme, dan visi sosial, ialah cita-cita diri untuk berpartisipasi bagi kebajikan publik.
Menggunakan perspektif moral Kohlberg, bisa dikatakan bahwa mereka masih pada tahap prakonvensional, atau tahap awal menuju kematangan. Dengan sikap egosentris, mereka masih berorientasi pada kepentingan diri dan selalu bertanya, “Saya dapat apa?” dan jika melakukan sesuatu “Apa keuntungan buat saya?” Ini tentu jauh dari fase yang telah dicapai Lincoln, yaitu pascakonvensional, di mana passion untuk menegakkan kemaslahatan publik mengalahkan kepentingan pribadi.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved