Headline
Pemerintah belum memastikan reshuffle Noel.
TELAH hampir 17 tahun, upaya memberikan perlindungan terhadap eksistensi pekerja rumah tangga melalui RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) belum juga menuai kepastian. Belum jelas apakah RUU itu akan masuk prolegnas prioritas 2021. Selain itu, hampir tiga periode jabatan pemerintahan, usulan penetapan RUU Kesetaraan dan Keadilan Gender menjadi undang-undang, agar dapat menjadi payung penghapusan segala bentuk diskriminasi gender, juga belum mendapat sambutan hangat dalam prolegnas prioritas 2021.
Sudah memasuki usia 37 tahun sejak penetapan Undang-Undang No 7 Tahun 1984 tentang Ratifikasi Konvensi Segala Bentuk Penghapusan Diskriminasi terhadap Wanita, sebuah komitmen internasional dan nasional setelah pada 1984 Convention on the Elimination of all Forms of Discrimination Again Women (CEDAW) disahkan, jumlah keterwakilan perempuan di lembaga legislatif juga belum memenuhi kuota 30%. Tak terpenuhinya kebijakan khusus perempuan tersebut untuk sementara ini juga terjadi, baik di lembaga eksekutif maupun yudikatif.
Belum terpola
Pertanyaan mendasarnya ialah mengapa sulit sekali memenuhi kebijakan afirmasi bagi perempuan yang sudah jelas-jelas mendapatkan mandat dari undang-undang. Dugaan kuat karena belum terpolanya penghapusan diskriminasi gender sebagai akar persoalan. Tidak jelasnya pola maupun pendekatan penghapusan diskriminasi gender, baik pada level politik hukum negara maupun pelaksanaannya, pada akhirnya menjadi faktor yang signifikan atas terjadinya kemandekan/kebuntuan penghapusan diskriminasi gender. Pada ujungnya, problem tersebut berimplikasi terhadap upaya perlindungan terhadap perempuan secara komprehensif.
Menilik hakikat dari berbagai upaya penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan, termasuk kebijakan afirmasi, erat kaitannya dengan pendekatan, konsep, dan pengembangan pemenuhan hak asasi manusia. Konsep dasar kebijakan afirmasi adalah penghapusan diskriminasi terhadap perempuan, dan itu adalah upaya mendasar pemenuhan hak asasi manusia.
Dalam buku Politik Hukum Penghapusan Kekerasan Seksual (2021), saya menuliskan bahwa ‘Gagasan mengenai HAM dibangun atas dasar prinsip kesetaraan. Prinsip ini menekankan bahwa manusia berkedudukan setara menyangkut harkat dan martabatnya. Berbagai perbedaan yang melekat pada diri manusia tidak menyebabkan kedudukan manusia menjadi tidak setara, karena walaupun begitu, tetaplah ia sebagai manusia'.
Rona Smith (2008) memberikan parameter bahwa kesetaraan mensyaratkan adanya perlakuan yang setara. Berpegang pada prinsip ini, maka ada penekanan bahwa manusia berkedudukan setara menyangkut harkat dan martabatnya. Manusia memiliki kesetaraan dalam HAM. Berbagai perbedaan yang melekat pada diri manusia tidak menyebabkan kedudukan manusia menjadi tidak setara. Karena, walaupun begitu, tetaplah ia sebagai manusia.
Memang, dalam literatur hukum dan hak asasi manusia tidak ditemukan istilah hak asasi laki-laki. Tetapi dalam pengaturan hak asasi manusia di Pasal 1 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menyatakan bahwa hak asasi manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan kebenaran manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa, dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintahan, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.
Setara
Dengan mempertimbangkan uraian di atas, sudah saatnya kita semua memiliki pandangan yang sama bahwa semua orang setara. Maka, seharusnya tidak ada perlakuan yang diskriminatif (selain tindakan afirmatif yang dilakukan untuk mencapai kesetaraan). Prinsip ini dikenal pula dengan nama prinsip nondiskriminasi.
Dengan demikian, diharapkan upaya penghapusan diskriminasi gender, salah satunya melalui kebijakan khusus sementara (affrimastive action), adalah strategi percepatan pemenuhan hak konstitusional perempuan sebagai hak asasi manusia, bukan berarti perempuan meminta haknya. Namun, kewajiban negara memastikan terpenuhinya hak asasi permepuan (HAP) sebagai hak warga negara.
Jika kesadaran dan kesungguhan para pemangku kepentingan dalam menerapkan kebijakan afirmasi ini dilakukan, diharapkan itu menjadi daya dorong dalam percepatan pemenuhan desain normatif kebijakan afirmasi dan perlindungan terhadap perempuan.
Hal itu dapat tecermin melalui politik hukum percepatan pengesahan berbagai rancangan undang-undang yang diusulkan sejumlah masyarakat sipil. Antara lain, RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS), RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT), dan RUU Kesetaraan dan Keadilan Gender (RUU KKG), yang sejak Prolegnas 2014 selalu diusulkan sebagai longlist prolegnas.
Selain itu, yang prioritas diwujudkan ialah pencapaian 30% keterwakilan di lembaga legislatif, yudikatif, dan eksekutif menuju kesamaan posisi. Kata kunci keberhasilannya ialah jika terwujud pengetahuan, pemahaman, kemauan kuat untuk menghapuskan diskriminasi gender dan memberikan perlindungan pada pemenuhan hak perempuan sebagai hak konstitusional warga negara.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved