Headline
Pemerintah tegaskan KPK pakai aturan sendiri.
SURAT keputusan bersama (SKB) mengenai seragam sekolah telah diterbitkan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem A Makarim, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, dan Menteri Agama Yaqut Cholil Quomas. Menurut Nadiem, sekolah ialah tempat menimba wawasan persatuan bangsa, toleransi, dan menjaga eksistensi ideologi negara (Media Indonesia, 3 Februari 2021).
Langkah tiga menteri itu digadang-gadang akan menjadi akhir polemik intoleransi di sekolah. Pasalnya, selama ini kecenderungan menganggap perbedaan sebagai ancaman tumbuh subur di lingkungan sekolah. Dengan pemahaman sebagai miniatur masyarakat majemuk, penanganan intoleransi di sekolah menjadi dasar bagi terciptanya bangsa yang toleran.
Dalam konteks hidup bermasyarakat, kehadiran ‘yang lain’ acap kali menjadi sumber ketidaknyamanan. Orang lain yang berasal dari agama dan ras yang berbeda dengan kita dianggap sebagai gangguan, bahkan ancaman. Padahal, di depan muka kita ada kenyataan bahwa tidak semua orang memiliki pemikiran, agama, ras, suku, dan budaya yang sama.
Intoleransi di sekolah
Jika sebagian besar kita yakin bahwa sekolah merupakan tempat menimba pengetahuan dan kebijaksanaan, situasi faktual seperti berkebalikan. Lingkungan sekolah sering kali menjadi tempat persemaian bibit intoleransi, misalnya tampak dalam aksi bullying. Selain itu, ada pemaksaan kehendak untuk mengenakan atribut agama tertentu (misalnya di SMKN 2 Padang, Sumatra Barat). Ada juga pemaksaan kehendak untuk mengikuti pelajaran agama tertentu.
Intoleransi di sekolah pertama-tama disebabkan reduksi identitas ke dalam satu kolektivitas tunggal. Dalam Kekerasan dan Identitas, Amartya Sen (2006) mengungkapkan kecenderungan menyederhanakan identitas seseorang, hanya sebagai anggota kelompok agama tertentu. Jika saya menganut agama Islam, orang beragama Hindu ialah benar-benar orang lain yang tidak memiliki ikatan apa pun dengan saya. Kondisi itu menjadi alasan, misalnya, mengapa dua siswa yang sama-sama menyukai matematika tidak mau bekerja sama karena berbeda agama.
Ada divisi yang tegas antara siswa-siswi beragama A dan B. Alhasil, identitas lain yang dapat menjadi pemersatu, misalnya sebagai sesama anggota kelas, menjadi kabur. Pembedaan yang tegas berdasarkan kelompok keagamaan menjadikan proses pendidikan dikendalikan hasrat mayoritas untuk menguasai minoritas.
Kedua, persoalan intoleransi secara mendasar lahir dari ambisi kepemilikan akan kebenaran tunggal. Klaim bahwa hanya kelompok saya yang benar secara bersamaan berarti orang lain salah. Untuk itu, orang lain yang bersalah harus bertobat dan mengikuti jalan kebenaran saya.
Dalam hal agama, klaim kebenaran tunggal menjadi berbahaya ketika terjadi perjumpaan dengan orang beragama lain. Selain itu, dalam konteks rasial, ada anggapan bahwa ras kami yang paling unggul sehingga orang kulit hitam harus tunduk pada ‘kemauan’ kami. Lebih jauh, kelompok ras atau agama lain perlu dihabisi agar tatanan masyarakat menjadi ‘normal’ tanpa dosa dan cacat.
Sekolah, ruang kerja kolaboratif
Situasi lingkungan sekolah yang intoleran menuntut kita memikirkan ulang proses di dalamnya. Di tengah berkembangnya ilmu pengetahuan, klaim kebenaran tunggal mencoreng proses pendidikan. Di samping itu, sangat disayangkan bila sekolah menjadi ruang penyeragaman identitas manusia. Padahal, dunia masa kini semakin multikultur dan cair.
Pertama, sekolah sebagai lembaga ilmiah ialah ruang diskursus kebenaran. Kebenaran yang diskursif berarti kebenaran yang selalu dapat dikoreksi sehingga tidak ada orang yang berhak mengklaim diri paling benar atau menghakimi yang lain sebagai bersalah.
Dalam rangka itu, Henry Giroux mengusulkan pedagogi kritis untuk melatih siswa mempertanyakan setiap pengetahuan yang diperoleh. Pemikiran siswa harus bebas dari belenggu otoritas yang menekan. Atau, siswa mesti berpikir secara bebas di luar alur yang dikehendaki mayoritas atau otoritas yang sudah mapan (Giroux, 2009).
Kebebasan dalam berpikir membuat siswa yakin bahwa setiap orang memiliki keunikan cara berpikir dan berpendapat. Mengikuti Jacques Ranciere, Giroux yakin bahwa suasana kelas sesungguhnya ialah dissensus, bahwa setiap orang bertarung dalam debat kritis sesuai dengan pemikirannya yang majemuk.
Siswa-siswi perlu dilatih untuk menghargai perbedaan pendapat tanpa harus berusaha menjadi pemenang. Dengan begitu, sikap dasar toleransi dapat dibentuk dari cara mereka menghargai orang yang berpemikiran atau berkeyakinan lain, termasuk dalam hal agama.
Kedua, reduksi identitas ialah bukti ketidakmampuan mengelola beragam identitas yang melekat dalam diri setiap orang. Sekolah sebagai ruang perbedaan ialah sekaligus ruang bersama yang membutuhkan kerja kolaboratif. Meski saya beragama A dan teman saya beragama B, kami tetap memiliki identitas lain yang mempersatukan, misalnya sama-sama anak petani, sama-sama meminati pelajaran matematika, atau sesama anggota kelas A.
Dengan kerja kolaboratif, perbedaan tidak pernah diabaikan. Namun, kerja tersebut juga tidak bertujuan menyeragamkan setiap orang dalam satu kelompok absolut. Kerja kolaboratif mengakui dan menghargai perbedaan-perbedaan demi tujuan bersama dalam harmoni. Basis tujuan bersama itu tidak berdiri di atas pandangan, keyakinan, atau ras mayoritas, tetapi pada martabat setiap pribadi.
Kerja kolaboratif yang menghargai kemajemukan menumbuhkan sikap toleransi dalam diri siswa. Dengan begitu, sekolah menjadi masyarakat mini yang melatih setiap orang untuk mengakui perbedaan sekaligus merobohkan tembok yang memisahkan ‘kita’ dari ‘mereka’.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved