Memperkuat Intermediasi dengan Kebijakan Sektor Jasa Keuangan

Selamet Riyadi Wakil Rektor Bidang Kerja Sama dan Fasilitas Perbanas Institute
10/2/2021 05:00
Memperkuat Intermediasi  dengan Kebijakan Sektor Jasa Keuangan
(Dok. perbanas.id)

SEBAGAI akibat dari pandemi covid-19 yang berkepan­jang­an, kondisi ekonomi pada 2020 lalu ditandai dengan kontraksi pertumbuhan ekonomi yang berujung pada resesi ekonomi. Salah satu dampak besar dari pandemi ini ialah menurunnya tingkat konsumsi masyarakat maupun investasi di sektor riil. Padahal, kedua sektor tersebut selama ini menjadi tulang punggung dari sumber pertumbuhan ekonomi nasional.  

Melemahnya konsumsi masyarakat menyebabkan berbagai kegiatan usaha, baik itu korporasi besar maupun UMKM, mengalami penurunan permintaan. Dampak berantai berikutnya ialah pelaku usaha terpaksa harus mengurangi jumlah produksi mereka. Sebagian harus menutup kegiatan usaha untuk sementara. Bahkan, sebagian harus menutup kegiatan usaha secara permanen.

Sementara itu, meningkatnya jumlah PHK dan angka kemiskinan menyebabkan permintaan kredit konsumsi masyarakat juga ikut menurun. Mereka cenderung menahan diri atau mengurungkan niat untuk meminta pembiayaan dari lembaga keuangan guna membeli baik rumah, kendaraan, maupun barang konsumsi lainnya.

Dengan melihat fakta tersebut di atas, tidaklah mengherankan tingkat intermediasi keuangan di sektor ekonomi mengalami penurunan. Penyaluran kredit perbankan mengalami penurunan disebabkan beberapa faktor. Pertama, lemahnya permintaan terhadap kredit dari pelaku usaha di sektor riil, yang disebabkan menurunnya kondisi ekonomi.

Kedua, risiko bisnis yang masih tinggi karena ketidakpastian kapan pandemi berakhir menyebabkan bank-bank untuk sementara waktu menahan diri dalam penyaluran kredit baru. Pertumbuhan kredit pada 2020 terkontraksi -2,41% YoY. Kredit modal kerja terkontraksi paling dalam mengingat banyak korporasi besar masih beroperasi di bawah kapasitas optimalnya. Begitu pula, kredit UMKM secara YoY masih terkontraksi -1,73%.

Lemahnya tingkat intermediasi kredit dan pembiayaan ini tidak boleh dibiarkan terus berjalan karena akan menghambat pemulihan ekonomi. Oleh karena itu, perlu strategi dan kebijakan baru untuk memperkuat fungsi intermediasi di lembaga keuangan agar kredit dan pembiayaan kembali bisa mengucur ke sektor riil.

Respons kebijakan


Guna meningkatkan permintaan kredit, Kementerian Keuangan dan BI telah mengeluarkan berbagai kebijakan yang bersifat makroprudensial. Kementerian Keuangan memberikan kontribusi besar dalam bentuk pemberian subsidi bunga untuk skim kredit UMKM dan juga menempatkan dana di beberapa bank BUMN dan BPD untuk menambah likuiditas.

Bank Indonesia, sebagai otoritas moneter, sudah menerapkan kebijakan moneter yang bersifat ekspansif, dengan mengalirkan likuiditas yang melimpah di pasar. Selain itu, suku bunga acuan BI telah diturunkan beberapa kali sampai pada level terendah dan giro wajib minimum bank-bank juga sudah dilonggarkan.

Salah satu tujuan kebijakan moneter yang ekspansif tersebut ialah mendorong permintaan kredit yang lebih besar guna mendukung pemulihan ekonomi. Namun, kebijakan moneter dari BI itu ternyata belum mampu mendorong intermediasi ke tingkat yang lebih tinggi.

Oleh karena itu, diperlukan kebijakan lain yang lebih tepat untuk menggerakkan kembali intermediasi ke level yang lebih tinggi.

Untuk mengatasi permasalahan tersebut, dibutuhkan kebijakan yang bisa menggerakkan intermediasi di sektor jasa keuangan, seperti membuat berbagai kelonggaran atau merelaksasi beberapa kebijakan. Di awal pandemi, kita melihat OJK telah memberikan kebijakan restrukturisasi kredit bagi baik debitur bank maupun perusahaan pembiayaan yang kegiatan usahanya terimbas pandemi.

Sampai dengan 4 Januari 2021, kredit perbankan yang direstrukturisasi 101 bank telah mencapai Rp971 triliun, yang diberikan kepada 7,6 juta individu/perusahaan yang terdiri dari UMKM Rp386,6 triliun untuk 5,8 juta debitur dan non-UMKM Rp584,4 triliuh untuk 1,76 juta de­bitur. Sementara itu, hingga 25 Januari 2021, perusahaan pembiayaan telah melakukan restrukturisasi kepada nasabah mereka senilai Rp191,58 triliun dari 5 juta kontrak pembia­yaan yang telah di­setujui.

Guna mendukung target pertumbuhan kredit dalam rencana bisnis bank pada 2021 sebesar 7,5%, OJK juga telah mengeluarkan beberapa kebijakan sektor jasa keuangan lainnya, yang bersifat akomodotif dan forward looking. Salah satunya ialah menurunkan bobot risiko kredit yang diberikan bank untuk sektor properti dan penurunan bobot risiko pembiayaan kendaraan bermotor untuk perusahaan pembiayaan.

Kebijakan sektor jasa keuangan tersebut perlu dilakukan untuk meringankan beban bank-bank dan perusahaan pembiayaan dalam menyediakan dana cadangan. Dengan demikian, baik penyaluran kredit maupun pembiayaan yang baru diharapkan menjadi lebih lancar.

Sektor properti perlu mendapat dukungan mengingat sektor ini memiliki keterkaitan erat dengan 17 sektor lainnya, baik secara langsung maupun tidak langsung, sehingga menyerap tenaga kerja yang cukup besar. Pulihnya sektor properti diharapkan dapat menghidupkan mesin-mesin dan kegiatan usaha di sektor lainnya sehingga tidaklah berlebihan apabila sektor properti menjadi salah satu lokomotif pertumbuhan ekonomi.

Sementara itu, keringanan bobot risiko untuk pembiayaan kendaran bermotor ditujukan agar sektor otomotif yang juga mempunyai kaitan langsung dengan berbagai industri lainnya juga mampu bergeliat kembali. Cukup banyak kegiatan usaha di sektor UMKM sebagai pemasok berbagai barang-barang yang selama ini telah menjadi bagian dari mata rantai pendukung sektor poperti dan otomotif.

Di samping kebijakan di atas, OJK juga telah melonggarkan baik bobot risiko kredit maupun batas maksimum pemberian kredit untuk bank-bank yang menyalurkan kredit ke sektor kesehatan. Kebijakan yang bersifat taktis dan responsif itu memiliki dua tujuan, yaitu untuk mendukung dan meringankan penanganan krisis kemanusiaan akibat pandemi dan juga untuk meningkatkan intermediasi di sektor riil, khususnya sektor kesehatan.

Dengan kebijakan itu, kebutuhan pembiayaan untuk baik pengadaan maupun impor obat-obatan, serta alat-alat kesehatan lainnya, diharapkan menjadi lebih cepat dan mudah. Respons OJK yang sangat akomodatif, dengan menurunkan bobot risiko kredit untuk beberapa sektor tertentu ini, perlu kita berikan acungan jempol karena datang di saat yang tepat.

Selanjutnya, guna mendukung peningkatan intermediasi keuangan di sektor UMKM, OJK juga telah memprakarsai pembentukan Tim Percepatan Akses Keuangan Daerah (TPAKD), bersama-sama dengan pelaku usaha jasa keuangan dan pemerintah daerah, beserta dinas-dinas terkait di daerah.

Saat ini, sudah terbentuk TPAKD di 32 provinsi, dan 198 di tingkat kabupaten dan kota. TPAKD ini telah menyediakan akses pembiayaan yang murah dan cepat untuk membantu sektor UMKM yang ada di daerah tersebut.

Di samping itu, pendirian bank wakaf mikro (BWM) juga terus ditambah, juga pendirian lembaga keuangan desa (LKD) terus bertambah, bekerja sama dengan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi. Pendirian berbagai kelembagaan tersebut sangat penting untuk memastikan bahwa pelaku UMKM di daerah tetap mendapatkan layanan pembiayaan dari berbagai jenis lembaga keuangan dan bisa membantu membangkitkan kembali sektor usaha kecil serta mendorong pemulihan ekonomi.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya