Headline
Pemerintah tegaskan KPK pakai aturan sendiri.
PERUBAHAN iklim itu nyata dan dampaknya sudah terlihat di berbagai penjuru dunia. Beberapa dari kita, mungkin menilai perubahan iklim hanyalah masalah cairnya es di Kutub yang jauh dari tempat kita tinggal. Perubahan iklim tidak hanya semata soal memanasnya bumi, teapi juga tentang peristiwa cuaca ekstrem, kenaikan air laut, bahkan pergeseran habitat dan populasi satwa disertai berbagai dampak lain.
Dalam tiga dasawarsa ke belakang, pembakaran fosil menyumbang hampir separuh lebih karbon yang lepas ke atmosfer. Pada 2013, Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) melaporkan kenaikan suhu rata-rata global sekitar 0,9 derajat Celsius dalam selang waktu antara 1880 sampai 2012. Di tahun 2018, IPCC juga melaporkan bahwa sejak pasca-praindustri, aktivitas manusia menyumbang kenaikan suhu rata-rata bumi di antara 0,8 derajat Celsius dan 1,2 derajat Celsius.
Pada tahun 2100, jika emisi karbon terus berlangsung sampai saat ini, kemungkinan suhu rata-rata bumi akan mengalami kenaikan 3 sampai 4 derajat Celsius. Mungkin beberapa dari kita mulai bertanya, seberapa parah kenaikan sampai 4 derajat Celsius terhadap bumi kita. Dalam kenaikan berkisar 1,5 derajat Celsius sampai 2 derajat Celsius saja, dampak yang dihasilkan cukup mengerikan.
Menurut NASA’s global climate change, dengan kenaikan hanya 1,5 derajat Celsius saja, gelombang panas setiap satu kali dalam lima tahun, mengancam sekitar 14% dari total populasi bumi.
Yang kita harus sadari, gelombang panas sudah banyak merenggut korban jiwa. Gelombang panas telah menewaskan 2.500 orang di India pada 1998 dan 55 ribu tewas dalam gelombang panas yang terjadi di Rusia pada 2010. Celakanya, menurut data terbaru yang dirilis Copernicus Climate Change Service, bahwa tahun 2020 merupakan rekor tahun terpanas, sejajar tahun 2016.
Komitmen
Saat ini, menurut sebuah studi, Antartika kehilangan 40 miliar ton es yang mencair ke laut setiap tahun dari rentang waktu 1989. Di awal 2009, angka itu naik menjadi 252 miliar ton es yang hilang karena mencair. Sebagian dari es yang mencair berkontribusi pada kenaikan air laut, yang saat ini permukaan airlaut global naik 3,2 milimeter, sebuah kenaikan yang cepat jika dibanding dengan tahun-tahun terakhir.
Indonesia ialah sebuah negara kepulauan, yang dua pertiga wilayahnya ialah laut. Laut akan menjadi bencana jika kita tidak berkomitmen terhadap pengurangan emisi gas rumah kaca. Di akhir abad ini, kenaikan air laut dapat mencapai 2,4 meter. Jakarta, kota dengan pertumbuhan penduduk paling pesat di Negeri ini diprediksi akan tenggelam di tahun 2050.
Kenaikan suhu rata-rata bumi bukan hanya membuat bumi makin hangat, tetapi juga berdampak pada kualitas udara. Saat ini kita sedang memasuki era Industri 4,0, pasar lapangan kerja berubah, pandemi covid-19 mempercepat transformasi digital, juga kita sedang mempersiapkan sebuah visi besar untuk menyambut seabad Indonesia merdeka, yang Presiden Jokowi sebut sebagai ‘Indonesia Emas 2045’.
Untuk menyambut Indonesia Emas ini, tentu diperlukan kesiapan SDM yang matang untuk bisa beradaptasi dan berkompetisi dikancah global. Namun, efek dari polusi udara dapat mengganggu upaya mencapai visi itu. Tidak hanya berdampak pada turunnya prestasi kognitif, dalam jangka panjang, efek dari polusi udara juga dapat mengurangi pendapatan, partisipasi dalam angkatan kerja juga berdampak pada produktivitas. Paparan polusi juga berbahaya, dapat meningkatkan jumlah kasus stroke, asma penyakit jantung, hingga gangguan kehamilan.
Di lain hal, mencairnya es dikhawatirkan oleh para epidemiologi akan menyebabkan timbulnya wabah baru. Saat ini, tentu kita belum selesai menghadapi pandemi berikutnya. Pada 2016 di Rusia, seorang anak bahkan dilaporkan tewas karena tertular antraks dari bangkai rusa kutub yang terjebak dalam es yang mencair dan mati karena bakteri. Di tengah globalisasi yang sedemikian cepat, perpindahan orang dari satu tempat ke tempat lain, bahkan dari satu negara ke negara lain, dikhawatirkan membuat wabah baru berpindah tempat dengan cepat.
Perubahan iklim pun akan berdampak pada sektor ekonomi. Bumi yang makin panas akan berpengaruh terhadap produktivitas pekerja. Bencana alam seperti badai, gelombang panas sampai kebakaran hutan, akan terjadi lebih sering, dan menyebabkan kerugian ekonomi. Sebuah perusahaan asuransi menghitung total kerugian ekonomi yang disebabkan bencana sepanjang 2020 mencapai US$210 miliar dengan rata-rata kerugian yang terjadi di benua Asia sebesar US$67 miliar.
Peran penting generasi muda
Sayangnya, narasi tentang dampak dari perubahan iklim belum banyak terdengar di kalangan anak Muda Tanah Air. Padahal, sama-sama kita ketahui bahwa Perubahan Iklim akan berdampak dalam banyak hal, termasuk mengancam masa depan pemuda. Dengan kondisi naiknya air laut yang akan mengancam tenggelamnya Jakarta, hingga dampak kerugian ekonomi akibat bencana. Tentu akan sangat dekat dengan kita, bila kita tidak bergerak untuk menekan laju pertumbuhan perubahan iklim itu.
Pada 2015, 21 pemuda dan organisasi lingkungan Earth Guardians menggugat pemerintah AS dalam sebuah gugatan iklim yang dikenal dengan Juliana v The United States. Mereka beranggapan pemerintah AS bertanggung jawab terhadap masa depan generasi muda karena telah menyebabkan perubahan iklim, membebankan biaya lingkungan hidup kepada generasi mendatang, juga mengancam hak konstitusional generasi muda atas kehidupan dan kebebasan karena dampak perubahan iklim.
Kemudian ada Gretha Thunberg dengan gerakan mogok sekolahnya di setiap hari Jumat untuk menentang perubahan iklim, yang dikenal dengan #FridayForFuture. Gretha mengajak para pelajar di seluruh dunia mengikuti aksinya dan menjadi viral. Bahkan, di akhir 2018, puluhan ribu pelajar di seluruh dunia mengikuti aksinya. Majalah Time pun memberi penghargaan untuk Gretha sebagai Person of the year 2019.
Namun, narasi tentang dampak perubahan iklim belum banyak terlihat dari generasi muda di Indonesia. Sejarah mencatat, gerakan kepemudaan di Indonesia sudah banyak memengaruhi arah gerak bangsa ini, dari Reformasi yang menggulingkan Rezim Orba, sampai gerakan mahasiswa yang baru-baru ini terjadi, yang terlepas dari pro dan kontranya, yaitu aksi menolak omnibus law di depan Gedung DPR RI.
Pada saat aksi itu berlangsung, jagat media sosial dipenuhi anak-anak muda yang peduli dengan substansi dari UU itu, keriuhan anak muda di media sosial terhadap hal itu sukses menyedot perhatian nasional. Dengan pengguna internet terbanyak di Asia Tenggara, juga populasi generasi muda RI yang mencapai hampir 65 juta jiwa, yang mana generasi ini sangat dekat dengan teknologi, terutama media sosial, tentu menjadi modal penting meningkatkan kepedulian terhadap perubahan iklim.
Saat ini, hasil riset dari IDN Research Institute menunjukkan 95% anak muda di Indonesia telah terkoneksi dengan internet. Di jagat Twitter, kita tahu tagar #TwitterDoYourMagic cukup ampuh ketika digunakan untuk ranah kepedulian sosial. Karena itu, banyak anak muda tergerak aktif menyuarakan kepedulian mereka terhadap isu sosial.
Tingkat kepedulian pemuda terhadap isu sosial cukup tinggi. Terbukti, dari meluasnya gerakan sosial berbasis online seperti donasi juga petisi online. Contoh, Kitabisa.com dalam 5 tahun terakhir saja telah berhasil menggalang dana lebih dari Rp 460 miliar.
Tentu ini ialah sebuah modal penting menyuarakan kepedulian terhadap perubahan iklim, juga menekan pemerintah untuk lebih tanggap dan bersiap menghadapi dampak perubahan iklim ke depan karena dibutuhkan gerakan kolektif yang mana, masing-masing dari kita mempunyai peran di dalamnya. Anak muda mempunyai peran penting untuk mengisi ruang itu, dalam menyuarakan dampak dari perubahan iklim di jagat media sosial.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved