Episode Baru Diplomasi Nuklir Iran

Darmansjah Djumala Diplomat bertugas di Wina, Austria, dan PBB, Dosen S-3 Hubungan Internasional, FISIP Universitas Padjadjaran, Bandung
30/1/2021 05:00
Episode Baru Diplomasi Nuklir Iran
(Darmansjah Djumala Diplomat bertugas di Wina, Austria, dan PBB, Dosen S-3 Hubungan Internasional, FISIP Universitas Padjadjaran, Bandung)

JOE Biden dilantik sebagai presiden AS ke-47 pada 20 Januari lalu. Dia segera bekerja dengan menandatangani beberapa instruksi eksekutif terkait isu dalam negeri. Wajar, itu memang prioritas, tetapi tak berarti isu politik luar negeri tidak menjadi perhatian Joe Biden. Lihat saja ketika masa kampanye pilpres lalu. Jauh-jauh hari Biden menjanjikan menghidupkan diplomasi mulitlateral dalam politik luar negerinya.

Perjanjian internasional, yang dulu ditinggalkan Donald Trump, akan diikuti kembali. Semasa Trump banyak perjanjian multilateral dilecehkan. Sebut saja, misalnya, perjanjian perubahan iklim, Paris Accord yang ditinggalkan AS.

Yang tak kalah kontorversialnya ialah keluarnya AS dari perjanjian pembatasan nuklir Iran, Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA). Ini perjanjian yang disepakati Iran bersama enam negara: AS, Inggris, Prancis, Rusia, Tiongkok, dan Jerman (P5+1). Isinya mengenai pembatasan pengembangan nuklir Iran yang dikaitkan dengan pencabutan sanksi ekonomi atas Iran.

Niat Biden untuk kembali ke komitmen JCPOA disambut baik masyarakat internasional. Jika Biden benar kembali ke JCPOA, diplomasi nuklir Iran menapaki episode baru. Namun, mungkinkah Biden menegosiasikan kembali JCPOA? Mungkin saja, meski tak mudah. Sebab, isu nuklir Iran bukan sekadar membatasi kemampuan Iran memproduksi senjata nuklir. Lebih serius, senjata nuklir Iran terkait dengan perannya dalam strategi geopolitik di kawasan Arab Timur Tengah. Justru dalam perspekstif itu, isu nuklir Iran menjadi momok bagi AS dan sekutu Barat dan Arabnya.

Kekhawatiran AS terhadap nuklir Iran tecermin dalam manuver diplomasi AS di PBB New York.

Setelah keluar dari JCPOA pada Mei 2018, AS merasa tidak terikat lagi dengan kesepakatan JCPOA dan Resolusi Dewan Keamanan PBB No 2231 yang mengesahkannya. Salah satu isi Resolusi 2231 mengatur embargo senjata bagi Iran sampai 18 Oktober 2020.

Ada dua alasan AS keluar dari JCPOA. Pertama, AS tidak percaya Iran akan patuh pada kesepakatan JCPOA. Diyakini, Iran menyembunyikan penyimpanan atom di tempat tertentu seperti diungkap Perdana Menteri Israel pada Sidang Umum PBB September 2018. Kedua, AS menilai kesepakatan nuklir Iran era Barack Obama itu merugikan AS sebab embargo senjata Iran hanya dibatasi sampai 18 Oktober 2020.

Setelah tenggat itu, tak ada jaminan Iran tidak mengembangkan senjata rudal balistik dan nuklirnya yang bisa menjangkau lebih luas di kawasan Arab Timur Tengah. Inilah yang dikhawatirkan AS dan sekutunya di kawasan itu. Karena itu, jauh sebelum 18 Oktober 2020, AS menarik diri dari kesepakatan JCPOA agar dapat menerapkan kembali (snapback) embargo senjata atas Iran berdasarkan resolusi-resolusi sebelumnya.

Namun, inisiatif AS ini gagal total di Dewan Keamanan PBB. Mayoritas anggota menolak. Sebenarnya kegagalan AS ini sudah bisa diprediksi. Dalam timbangan hukum, bagaimana bisa sebuah negara yang sudah keluar dari perjanjian mengusulkan ‘tindakan baru’ yang mekanismenya justru diatur dalam perjanjian itu sendiri? Seperti diungkapkan oleh pengamat masalah internasional, Saheb Sadeghi, AS tidak bisa memberlakukan kembali sanksi PBB atas Iran jika ia bukan lagi pihak dari perjanjian JCPOA (Trump Can’t Have His Cake and Eat It Too on Iran Sanctions, Foreign Policy, 25 Agustus 2020). Namun, dari perspektif politik kepentingan, AS justru sengaja keluar dari perjanjian JCPOA agar dapat menerapkan sanksi atas Iran, seperti ditetapkan resolusi-resolusi terdahulu.

 

Posisi dilematis

 

Ternyata, mayoritas anggota Dewan Keamanan PBB masih lebih berpegang pada norma hukum internasional daripada memenuhi kepentingan politik AS. Kegagalan inisiatif snapback menempatkan AS dalam posisi dilematis, terutama jika Administrasi Joe Biden ingin memulai kembali menegosiasikan isu nuklir Iran. Setidaknya, ada dua fakta penghalang. Pertama, keluarnya AS dari JCPOA justru memberi berkah bagi Iran.

Absennya AS memperkuat argumentasi hukum Iran: jika AS sebagai pihak utama dalam perjanjian mengundurkan diri, mengapa pula Iran harus patuh pada butir kesepakatan dalam perjanjian itu? Hengkangnya AS justru dimanfaatkan Iran untuk meningkatkan kemampuan pengayaan uraniumnya, melampaui batas yang ditentukan JCPOA.

Langkah taktis Iran ini bisa dimengerti. Sebab, menurut Iran, JCPOA sudah tidak mengikat lagi alias bubar karena salah satu pihak sudah mengundurkan diri. Itulah sebabnya, laporan Badan Atom Dunia, IAEA (International Atomic Energy Agency), pada 11 November 2020 mengungkapkan Iran meningkatkan stok uraniumnya secara mencolok: menjadi 2.442 kg dari batas yang ditentukan JCPOA 202 kg. Iran juga meningkatkan pengayaan uraniumnya menjadi 4,5% dari batasan JCPOA 3,6%.

Tidak cukup itu, Menteri Luar Negeri Iran, Javad Zarif, merangsek dengan ancaman: jika sanksi PBB tidak dicabut sampai Februari 2021, Iran akan meningkatkan pengayaan uraniumnya menjadi 20% sesuai amanat undang-undang yang disahkan Parlemen Iran, Desember silam (Iran Wants the Nuclear Deal It Made, Foreign Affairs, 22 Januari 2021).

Kedua, episode baru, diplomasi nuklir Iran menghadapi realitas politik yang juga baru. Dalam waktu hampir tiga tahun sejak AS hengkang dari JCPOA, stok uranium dan kapasitas pengayaan uranium Iran sudah jauh meningkat. Ini realitas politik baru yang harus dihadapi AS. Andainya nanti Biden ingin menegosiasikan kembali JCPOA dengan kondisionalitas seperti disepakati pada 2015, Iran akan jual mahal.

Bukankah saat ini kemampuan Iran sudah jauh lebih baik jika dibanding dengan 2015 dulu? Iran tak akan begitu saja setuju berunding kembali dengan AS. Justru Iran akan menggunakan kemampuan nuklirnya saat ini sebagai daya ungkit (leverage) dalam negosiasi nanti, siapa pun dan kapan pun perundingan itu akan dimulai. Iran yakin, apa yang dilakukannya – peningkatan stok dan pengayaan uranium – sesuai dengan paragraf 36 JCPOA yang mengatur suatu negara boleh menanggalkan komitmennya (cease performing its commitments) jika ada negara lain melanggar isi kesepakatan.

Pada titik ini, AS dan negara anggota JCPOA lainnya menghadapi dilema: peningkatan kemampuan nuklir Iran saat ini, yang jauh di atas batasan yang ditetapkan JCPOA, justru disebabkan oleh perilaku AS yang semena-mena menarik diri dari JCPOA.

Keinginan Joe Biden merundingkan kembali pembatasan nuklir Iran membuka episode baru diplomasi nuklir Iran. Inisiatif mengembalikan kesepakatan nuklir Iran melalui diplomasi multialteral--bukan melalui tindakan unilateral--patut disambut baik.

Namun, dalam diplomasi, niat baik saja tidak cukup. Ia juga menuntut sikap realistis dalam menilai keadaan secara objektif. Kemampuan pengayaan uranium yang dimiliki Iran saat ini, yang sudah jauh meningkat--yang justru didorong oleh hengkangnya AS dari kesepakatan JCPOA-- ialah kondisi objektif yang harus dipertimbangkan. Bisa jadi, justru kondisi ini yang menjadi kendala dalam diplomasi nuklir Iran ke depan.

 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya