Headline
Mantan finalis Idola Cilik dan kreator konten juga memilih menikah di KUA.
Mantan finalis Idola Cilik dan kreator konten juga memilih menikah di KUA.
Ketegangan antara Thailand dan Kamboja meningkat drastis sejak insiden perbatasan
PANDEMI memiliki dampak luar biasa. Tidak sebatas pada kesehatan fisik dan mental warga dunia, itu juga telah meluluhlantakkan ketahanan ekonomi banyak negara. Tidak terkecuali negara-negara yang selama ini dikenal sebagai raksasa-raksasa ekonomi dunia. Pertumbuhan ekonomi terjun bebas. Beberapa negara tidak dapat menghindari resesi. Dalam keadaan seperti ini, mau atau tidak mau, siapa pun harus siap menghadapi berbagai kesulitan hidup sebagai akibat dari kondisi ekonomi yang terus memburuk. Sampai kapan? Hanya Tuhan yang tahu.
Sekolah, sebagai entitas pedidikan kedua setelah keluarga, harus berperan aktif mempersiapkan mentalitas siswa agar mereka dapat selamat mengarungi gelombang samudera kehidupan, yang semakin lama tampaknya akan menjadi semakin rumit dan kompleks. Penguasaan iptek, dengan berbagai keterampilan pendukungnya, memang sangat diperlukan. Akan tetapi, kesiapan mental, kekuatan karakter sebagai wirausaha tangguh, rasanya lebih penting. Tanpa mentalitas tangguh, siswa pintar dan terampil hanya akan bengong melihat dinamika kehidupan yang penuh tantangan.
Wirausaha, seperti kata Kuratko dan Hodgetts (2004), ialah 'who identify market opportunities and fulfill this gap in an innovative manner'. Pribadi yang mampu mengidentifikasi peluang pasar dan memenuhi kesenjangan ini dengan cara yang inovatif. Dalam perspektif ini, yang dimaksud wirausaha tentu bukan monopoli mereka yang bekerja di sektor swasta. Siapa pun, termasuk yang berkutat di birokrasi, dapat menjadi wirausaha sepanjang memiliki kapasitas untuk mengidentifikasi peluang pasar dan memanfaatkannya dengan cara-cara yang inovatif.
Intensi berwirausaha
Pilis dan Reardon (2007) mendefinisikan intensi berwirausaha sebagai keinginan untuk memulai bisnis baru. Sebuah keputusan yang dibuat dengan sengaja dan penuh kesadaran. Memulai usaha baru membutuhkan waktu, perencanaan yang matang, dan tingkat pengolahan kognitif yang cukup tinggi. Dengan demikian, keputusan berwirausaha dapat dianggap sebagai perilaku yang direncanakan, yang dapat dijelaskan dengan menggunakan model intensi. Oleh karena itu, memahami fenomena kewirausahaan dengan mempelajari intensi berwirausaha individu berdasarkan model sosiokognitif merupakan pendekatan yang sesuai untuk menganalisis bagaimana penciptaan usaha baru dilakukan (Zhao dkk: 2005).
Menurut teori perilaku terencana (planned behaviour theory), anteseden langsung perilaku ialah intensi (Ajzen: 2002). Niat ialah anteseden langsung dari perilaku nyata. Hal ini berarti semakin kuat intensi seseorang untuk berperilaku tertentu, semakin besar pula prediksi keberhasilan perilaku atau perilaku itu aktual. Bahkan kalau menurut Kolvereid dan Isaksen (2006), intensi ialah prediktor tunggal terbaik bagi perilaku yang direncanakan, termasuk di sini perilaku berwirausaha.
Menurut Ajzen (2002), intensi ditentukan tiga hal penting, yaitu norma subjektif (subjective norms), ketertarikan pribadi atau sikap (personal attraction or attitude) dan kontrol perilaku yang dirasakan (perceived behavioural control). Dalam konteks berwirausaha, norma subjektif mengacu kepada persepsi individu terhadap apa yang dipikirkan 'kelompok referensi' seperti keluarga, teman, atau orang lain yang berarti baginya, berkaitan dengan perilaku berwirausaha yang hendak dilakukan. Apakah kira-kira mereka akan menyetujui atau tidak menyetujui keputusan untuk berwirausaha meskipun secara umum, norma subjektif ini cenderung memiliki kontribusi rendah terhadap intensi berwirausaha, bergantung pada kecenderungan individu untuk menyesuaikan diri dan karakteristik kepribadiannya.
Sikap atau ketertarikan pribadi terhadap perilaku berwirausaha mengacu kepada sejauh mana individu memiliki penilaian pribadi yang positif atau negatif terhadap kewirausahaan. Ajzen (2005) mengklaim orang mengembangkan sikap berdasarkan keyakinan yang mereka miliki terhadap konsekuensi yang mungkin timbul dari melakukan tindakan atau perilaku tertentu. Imbalan finansial, independensi/otonomi, penghargaan pribadi, dan keamanan keluarga ialah contoh konsekuensi positif yang dapat mendorong seseorang memiliki intensi berwirausaha. Sementara itu, kemungkinan hasil negatif seperti kerugian, kehilangan modal usaha, dan malu secara sosial termasuk risiko yang terkait dengan kegiatan kewirausahaan yang dapat berdampak kurang menguntungkan terhadap intensi berwirausaha.
Kontrol perilaku yang dirasakan mengacu kepada keyakinan dan kepercayaan individu terhadap kemampuannya tampil sebagai pengusaha, pegang kendali, dan berhasil dalam kegiatan kewirausahaan. Dalam konteks ini, dapat pula disebut sebagai efikasi diri wirausaha. Penelitian menunjukkan efikasi diri wirausaha sangat memengaruhi perilaku kewirausahaan. Ringkasnya, norma subjektif, sikap kewirausahaan, dan kontrol perilaku yang dirasakan memiliki peran sangat penting dalam memprediksi perilaku kewirausahaan. Pengalamanan menunjukkan seseorang dengan intensi berwirausaha tinggi lebih memiliki kesiapan dan kemampuan untuk menjalankan usaha bila dibandingkan dengan mereka yang tanpa intensi memadai.
Strategi sekolah
Sebagai respons terhadap kebutuhan pembentukan wirausaha-wirausaha baru, satuan pendikan perlu memberikan penguatan di bidang kewirausahaan. Program pengembangan mentalitas wirausaha dimaksudkan untuk membentuk jiwa kewirausahaan di kalangan siswa dan membimbing mereka agar dapat menjadi job creator, bukan job seeker. Idealnya, desain pembelajaran yang dipilih ialah desain pembelajaran yang berorientasi untuk menghasilkan calon wirausaha mandiri yang mampu mendirikan, memiliki dan mengelola perusahaan serta dapat memasuki dunia bisnis dan industri secara profesional.
Sejatinya pendidikan kewirausahaan ialah tentang pengembangan dan peningkatan inspirasi, kesadaran, pengetahuan dan keterampilan yang sangat dibutuhkan untuk berhasil membangun dan menjalankan usaha. Sekolah perlu memperhatikan kecenderungan negatif yang disinyalir Laukkanen (2000). Manakala satuan pendidikan mengajarkan siswa hal-hal yang terlalu analitis, bersifat sadar-kognitif, dan menonjolkan risiko, itu justru dapat menyebabkan siswa semakin ketakutan untuk merintis usaha baru. Kewirausahaan memang selalu dikaitkan dengan keberanian mengambil risiko. Individu dengan penerimaan risiko (risk acceptance) lebih tinggi memiliki tingkat intensi berwirausaha yang lebih kuat (Hmieleski & Corbett, 2006).
Sekolah hendaknya memperkuat norma subjektif dan efikasi diri yang mampu mendukung intensi siswa untuk berwirausaha. Penugasan dalam pendidikan kewirausahaan harus dirancang sedemikian rupa agar dapat memicu minat, motivasi, dan dorongan siswa untuk memiliki keberanian selalu menciptakan nilai tambah. Semua dilakukan secara autentik, terintegrasi, dan lintas disiplin.
Pada akhirnya, pendidik semestinya menjadi model pribadi yang terbuka dan selalu mendorong siswa mengembangkan kreativitas, inisiatif, inovasi, refleksi kritis, dan berbagai cara untuk memecahkan berbagai persoalan. Di sini siswa harus ditempatkan sebagai aktor utama dalam keseluruhan dinamika pendidikan kewirausahaan. Bukan sebaliknya, meletakkan mereka sebagai 'objek penderita' proses pembelajaran. Memberikan pengalaman belajar yang sedemikian menantang merupakan uji nyali bagi siswa agar terbiasa menghadapi ketidakpastian kehidupan.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved