Headline

Setelah menjadi ketua RT, Kartinus melakukan terobosan dengan pelayanan berbasis digital.

Fokus

F-35 dan F-16 menjatuhkan sekitar 85 ribu ton bom di Palestina.

Pembentukan Karakter Bangsa, Film dan Ketahanan Negara

Gantyo Koespradono, Mantan Wartawan, Pemerhati Sosial dan Politik
11/12/2020 19:05
Pembentukan Karakter Bangsa, Film dan Ketahanan Negara
Gantyo Koespradono(Dok pribadi)

“PERAN produksi film dan konten oleh negara dalam rangka pembentukan karakter bangsa untuk mewujudkan ketahanan negara.” Inilah tema Focus Group Discussion (FGD) Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR-RI) bekerja sama dengan Produksi Film Negara (PFN), Kamis (10/12).

Acara FGD digelar di Gedung Nusantara IV MPR-RI dan dipancarluaskan secara virtual melalui aplikasi Zoom. Mengikuti FGD tersebut, saya mencatat setidaknya 22 orang yang berkompeten di bidangnya berbicara dalam forum yang dipandu presenter Metro TV Fifi Aleyda Yahya.

Menyimak tema yang diusung, saya menduga karakter bangsa kita sekarang ini sedang tereliminasi oleh karakter dari bangsa lain. Sehingga kalau dibiarkan, sangat mungkin ketahanan negara kita lama-lama akan jebol. Sangat mungkin pula, ideologi Pancasila yang selama ini terbukti telah merekatkan kita sebagai bangsa, juga akan terkikis dan tinggal nama.

Bagaimana agar karakter bangsa kita tetap terjaga dan terbentuk (khususnya buat generasi muda)? Salah satu cara ya lewat medium film yang dianggap cukup efektif untuk memperkenalkan dan menanamkan karakter dan budaya. Persoalannya, industri perfilman nasional kini sedang terpuruk, bioskop-bioskop juga masih banyak yang tutup karena pandemi covid-19. Lalu di mana peran negara?

Mengaitkan film sebagai medium untuk membentuk karakter bangsa, ingatan melayang sewaktu saya SD di Solo. Pihak sekolah menganjurkan para murid mulai dari kelas satu sampai kelas enam nonton film Si Pincang (pada 1960-an masih ditulis Pintjang)

Si Pintjang merupakan film hitam putih anak-anak bertemakan semangat nasionalisme. Film Si Pintjang merupakan pelopor film untuk anak-anak pertama yang diproduksi oleh Perusahaan Film Negara yang kini dikenal sebagai Produksi Film Negara (PFN) guna memenuhi kebutuhan tontonan anak dalam membantu tumbuh kembang jiwa dan pikiran mereka.

Sayang memang seperti diungkap Kepala Sinematek Indonesia Akhlis Suryapati dalam FGD yang berlangsung selama empat jam tersebut, kini PFN praktis tidak pernah memproduksi film-film, entah karena sebab apa. Pada era Orde Baru, menurut Akhlis, PFN masih sempat memproduksi 20-an film. Tapi sejak Reformasi (1998) sampai sekarang, PFN hanya memproduksi satu film yang berjudul Kuambil Lagi Hatiku. Sudah hanya sampai di situ. 

Kalau memang kita berkehendak untuk menjadikan film sebagai medium untuk membangun dan membentuk karakter demi mewujudkan ketahanan negara, masih menurut Akhlis, yang bertanggung jawab adalah PFN selaku representasi negara di sektor perfilman, bukan swasta. 

Kita sekarang ini sudah dikepung oleh film dalam berbagai bentuk dan tersebar lewat video di media sosial dan gawai. Negara selama ini, disebut Akhlis, tidak pernah mengurus film (layar lebar). Jika pun mengurus film, yang diurus hanya soal sensor terkait dengan rok mini, dada dan bagaimana produksi film bisa mendatangkan pajak bagi pendapatan negara. 
 
Benar apa yang dikatakan Akhlis bahwa masyarakat Indonesia sekarang ini sudah dikepung oleh film (baca juga sebagai video) dan masuk ke telepon seluler kita. Kontennya ada yang berupa fitnah, ujaran kebencian, caci maki, dakwah yang mendengung-dengungkan intoleransi, anti-Pancasila dan ujung-ujungnya NKRI dalam bahaya. Karakter bangsa porak poranda dan ya itu tadi, jika dibiarkan ketahanan negara akan ambruk.

Itu adalah fakta dan produksi film sebagaimana diinisiasi Wakil Ketua MPR Lestari Moerdijat lewat FGD, diharapkan bisa menangkal atau setidaknya mengeliminasi konten-konten yang disebar kelompok-kelompok yang diakui atau tidak sebenarnya sudah tidak menghendaki negara ini utuh. 

Dampak drakor
Film memang punya daya pengaruh luar biasa. Masyarakat, khususnya anak muda Indonesia saat ini sedang menggandrungi film drama Korea yang populer dengan sebutan 'drakor'. Gara-gara drakor, banyak anak muda yang meniru apa yang dilakukan idola mereka di film. Sampai-sampai ada warganet yang iseng menulis di akunnya, “Andai drakor menampilkan adegan toleransi pasti anak-anak muda di sini akan ikut-ikutan menghargai perbedaan.”

Meskipun disampaikan dengan gaya canda dan berandai-andai, apa yang disampaikan warganet di atas masuk akal. Pasalnya, film memang medium efektif untuk memengaruhi cara berpikir seseorang dan masyarakat.

Oleh sebab itu menarik apa yang disampaikan Duta Besar Korea Selatan Umar Hadi dalam FGD. Ia menjelaskan drakor dan K-pop yang kini dijadikan 'santapan' masyarakat dunia diproduksi Korsel, bukan kebetulan, tapi sengaja didesain setelah negeri ginseng ini memasuki masa Reformasi 1987, khususnya reformasi di bidang budaya.

Korsel, disebut Umar Hadi, punya mimpi bagaimana menjadikan budaya Asia mendominasi dunia. Produk seni budaya Korsel yang kini mendunia itu oleh Korsel bukan diklaim sebagai budaya Korsel, melainkan budaya Asia. Mewujudkan mimpi itu Korsel mendirikan sekolah (pendidikan) seni teknologi media yang di dalamnya ada perfilman, tata cahaya dan sebagainya. Korsel benar-benar merevolusi sektor Pendidikan yang membuat SDM-nya lebih terbuka dan kreatif. Negara hadir dan memberi kebebasan kepada warga negaranya untuk berekspresi dan berkreativitas.

Bagaimana dengan Indonesia? Ketua Lembaga Sensor Film Rommy Fibri Hardiyanto balik bertanya sebenarnya negara sudah hadir belum sehingga bisa menitipkan nilai-nilai kebangsaan dalam sebuah film? 
 
Rommy mengungapkan, dalam 5 tahun terakhir, setiap tahun lembaga yang dipimpinnya menyensor 360-370 film asing, sedangkan film Indonesia hanya 150-160 buah. Dari jumlah itu (film impor dan nasional), 6%-7% film yang disensor LSF adalah film anak-anak. Ya, cuma segitu. Lantas 10 tahun lagi seperti apa karakter anak-anak Indonesia jika tidak ada tontonan yang mengandung edukasi buat mereka.

Melihat kenyataan itu, Rommy dengan tegas mengatakan, negara harus siap menjadi sponsor film yang berkonten kebangsaan. Lalu film seperti apa yang cocok untuk memasukkan nilai-nilai itu? Rommy hanya mengungkapkan data bahwa film Warkop Reborn ditonton 6,4 juta orang, Dilan (6,3 juta), Laskar Pelangi (4,7 juta), Habibie Ainun (4,5 juta) dan Pengabdi Setan (4,2 juta).
 
Sebelumnya saat mengantarkan FGD, Lestari Moerdijat mengatakan bahwa idealnya film harus bisa membawa nilai-nilai kebangsaan untuk mengatasi ancaman dan tantangan kebangsaan kita. Persoalannya bagaimana kita bisa memproduksi film yang berisi nilai-nilai itu dengan penyampaikan pesan yang luwes dan menarik, sehingga bisa diterima semua pihak.

Wartawan senior Saur Hutabarat mengajak kita untuk mengubah posisi dalam berpikir. Selama ini, menurut Saur, kita selalu berpikir defensif. Kita perlu belajar dari Korea Selatan yang berpikir ofensif, sehingga negara ini bisa mengekspor produk budaya mereka.

Saur mengingatkan, membangun karakter budaya di era kekinian dengan propaganda atau doktrin sudah tidak lagi efektif. Konkretnya, sosialisasi ideologi model penataran P-4 sudah tidak laku. Sebagai gantinya, pembangunan karakter dan sosialisasi nilai-nilai kebangsaan harus dilakukan secara halus dan melewati proses kreatif. Salah satunya adalah produksi film.

Jika Saur menyarankan agar negara lewat PFN menjadikan novel-novel terbaik untuk divisualkan menjadi film, saya menyarankan agar pihak-pihak terkait (bisa MPR, PFN atau lembaga kepresidenan) mengadakan lomba penulisan cerita atau skenario film yang di dalamnya mengandung nilai-nilai kebangsaan.

Jangan sampai negara membiarkan 'film-film' berwujud video pendek berdurasi 1-3 menit berkonten fitnah, ujaran kebencian, caci maki dan umpatan setiap hari masuk ke gawai kita dan media sosial. Itu karena 'sang produser' sengaja ingin menihilkan ideologi Pancasila dan negara ini hancur lebur.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya