Headline

Kecelakaan berulang jadi refleksi tata kelola keselamatan pelayaran yang buruk.

Fokus

Tidak mengutuk serangan Israel dan AS dikritik

Habibie dan Lahirnya UU yang Demokratis

Bambang Sadono Staf Pengajar Program Magister Ilmu Hukum Universitas Semarang
21/9/2019 01:10
Habibie dan Lahirnya UU yang Demokratis
Opini(MI/Tiyok)

PHILIPPE Nonet dan Philip Selznick (2003) membangun teori hukum bahwa hanya masyarakat demokratis yang menghasilkan hukum res­ponsif, hukum yang sesuai dengan kehendak rakyat. Hukum yang responsif melawan kekuasaan jika bertentangan dengan kepentingan dan aspirasi publik. Sistem hukum responsif inilah yang mempunyai tataran tertinggi dalam kemampuan untuk menjawab kebutuhan keadilan substantif dan prosedural.

Hukum yang demokratis tidak akan terlepas dari konteks sosial dan konteks politisnya. Karena itu, dibutuhkan partisipasi seluas mungkin untuk mendapatkan masukan, baik secara politik maupun hukum sehingga akan lahir peraturan perundang-undangan yang demokratis. Sejarah membuktikan betapa kebijakan yang tidak diperdebatkan secara terbuka dan dalam konteks hukum yang demokratis menyebabkan banyak ketidakpuasan yang cenderung melahirkan aktivitas kontraproduktif.

Di Indonesia, ada periode yang kondusif secara politis sehingga menghasilkan produk hukum yang relatif lebih responsif, yakni pada masa pendek pemerintahan Presiden BJ Habibie, 21 Mei 1998-20 Oktober 1999. Dimulai dengan tuntutan reformasi politik, yang diikuti mundurnya Presiden Soeharto.
Begitu menjadi Presiden, BJ Habibie melonggarkan kebebasan pers dan menyatakan penyelenggaraan pemilu dipercepat. Disusul dengan penataan hukum dengan pembaruan undang-undang yang lebih demokratis.

Sampai 20 Oktober 1999 saat anggota DPR hasil Pemilu 6 Juni 1999 dilantik, Habibie mengendalikan langsung pembentukan undang-undang, di satu sisi sebagai kepala pemerintahan, di sisi lain sebagai ketua dewan pembina Partai Golkar yang masih mendominasi DPR RI. Dari 500 anggota DPR RI 1997-1999 (seharusnya sampai 2002), diangkat 100 anggota dari TNI-Polri. Dari 400 anggota yang dipilih dalam pemilu, 325 atau 74,5% dari Partai Golkar, 89 anggota atau 22,43% dari Partai Persatuan Pembangunan, dan 11 anggota atau 14% dari anggota Partai Demokrasi Indonesia.

 


67 UU demokratis

Dalam pidato pertanggungjawaban presiden/mandataris MPR RI, 14 Oktober 1999, menurut Habibie, dalam pembahasan materi hukum, selama pemerintahannya selama 18 bulan telah dihasilkan 67 undang-undang dan satu peraturan pemerintah pengganti undang-­undang (perpu). Dari 67 undang-undang, 66 telah resmi diundangkan dan dicatat dalam lembaran negara, dan satu undang-undang, yakni UU tentang Penanggulangan Keadaan Bahaya, belum diundangkan. Politik hukum undang-undang ini semua mengarah pada upaya untuk mendorong percepatan proses demokratisasi, pemajuan hak asasi manusia, percepatan reformasi, dan sebagainya.

Menurut catatan Didit Hariadi Estiko (2001), beberapa undang-undang pada era Habibie bisa dianggap sebagai produk hukum yang strategis untuk terciptanya kehidupan ketatanegaraan yang lebih demokratis. Undang-undang tersebut ialah UU Nomor 9/1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum; UU Nomor 2/1999 tentang Partai Politik menggantikan UU Nomor 3/1975 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 3/1985 tentang Parpol dan Golkar; UU Nomor 3/1999 tentang Pemilu yang mengganti UU Nomor 15/1969 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 5/1975, dan UU Nomor 1/1985 tentang Pemilu; UU Nomor 4/Tahun 1999 tentang Susunan dan Kedudukan Anggota  MPR, DPR, dan DPRD, mengganti UU Nomor 16/1969, sebagaimana diubah dengan UU Nomor 5/1975, UU Nomor 2/1985, dan UU Nomor 5/1995 tentang Susduk; UU Nomor 6/1999 tentang Pencabutan UU Nomor 5/1985 tentang Referendum; UU Nomor 22/1999 tentang Pemerintah Daerah yang mengganti UU Nomor 5/1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di daerah, dan UU Nomor 5/1979 tentang Pemerintahan Desa; UU Nomor 26/1999 tentang Pencabutan Undang-undang Nomor 11/PNPS Tahun 1963 tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi; UU Nomor 27/1999 tentang Perubahan KUHP yang Berkiatan dengan Kejahatan terhadap Kemanan Negara; UU Nomor 28/1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme; UU Nomor 39/1999 tentang HAM, dan UU Nomor 40/1999 tentang Pers.

Ada satu undang-undang lagi yang berkaitan dengan semangat pengembangan demokrasi, yakni UU tentang Penanggulangan Keadaan Bahaya. Undang-undang itu tidak sempat diundangkan karena mendapat perlawanan dari masyarakat yang tidak sepakat dan menganggap bahwa UU itu justru akan menghambat demokrasi. Hal ini menunjukkan bagaimana tekanan reformasi cukup berpengaruh untuk menekan pemerintah agar tidak meloloskan UU yang dianggap kurang demokratis meskipun sudah disetujui DPR. Dari segi prosedur tidak diundangkannya UU ini memang mengurangi jaminan terhadap kepastian hukum.

Novianto Murti Hantoro (2000) yang melihat dari aspirasi daerah, selain UU Nomor 22/1999, juga menyebut bahwa UU nomor 25/1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, UU Nomor 34/1999 tentang Pemerintah Propinsi DKI Jakarta, UU No 44/1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Propinsi Aceh, serta beberapa UU mengenai pembentuk­an Dati II, cukup mewakili semangat reformasi dan demokratisasi untuk menghasilkan produk hukum yang responsif-populis.

Dian Cahyaningrum (2000) mencatat beberapa undang-undang yang dianggap reformis karena itu demokratis, responsif, dan populis. Misalnya, UU Nomor 43/1999 tentang Perubahan atas UU Nomor 8/1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian.
Sementara itu, Inosentius Samsul (2000) menilai UU Nomor 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen dan Ronny Sautma Hotma Bako (2000) menganggap UU Nomor 5/1999 tentang Larangan Praktik Monopoli  mempunyai nilai lebih sendiri karena kedua UU ini bagian dari sedikit UU Inisiatif yang dihasilkan DPR pada periode pendek tersebut. Di bidang hukum pidana, Puteri Hikmawati (2000) mencatat UU Nomor 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Habibie dalam pidatonya di MPR, memberi catatan khusus terhadap UU Nomor 35/199 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 14/1970 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman, yang menjamin pembinaan kekuasaan kehakiman secara bertahap berada dalam satu atap, di bawah Mahkamah Agung.

 


Menurun lagi

Semangat reformasi dan demokratisasi yang telah berhasil mengantarkan lembaga legislatif untuk menghasilkan undang-undang yang sesuai dengan aspirasi rakyat harus dikelola dengan baik. Menjaga dan memanfaatkan momentum iklim demokratis untuk menghasilkan hukum yang ideal ternyata tidak mudah. Masa bulan madu, pada masa kepresidenan Habibie dengan Menteri Kehakiman Prof Dr Muladi yang produktif menghasilkan UU yang aspiratif dan responsif, ternyata tidak mudah.

Karena ada gejala ketika tekanan reformasi agak mengendur, sejak DPR hasil Pemilu 1999, semangat untuk menghasilkan UU yang reformis juga ikut menurun lagi. Bukan hanya semakin menurun jumlah undnag-undang yang dihasilkan, ditandai dengan jauhnya jumlah yang bisa diselesaikan dengan target yang dicanangkan pada Prolegnas setiap tahunnya, melainkan juga banyaknya UU yang kemudian dibatalkan Mahkamah Konstitusi dan dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar.
Terlihat dari banyaknya respons negatif publik terhadap proses pembuatan undang-undang, seperti terakhir terlihat reaksi masyarakat terhadap revisi UU tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Cornelis Lay (1999) sudah mengingatkan gerakan reformasi jika tidak jelas agendanya, akan gagal mengantarkan negara pada sistem yang demokratis, bahkan bisa mengembalikan lagi pada otoritarianisme. Setelah mengalami krisis yang hebat, kemudian muncul tuntutan reformasi, apakah sebuah bangsa akan kembali ke sistem otoriter atau bisa mengubah diri menjadi bangsa yang demokratis, antara lain tergantung pada kemampuannya untuk mengonsolidasikan kekuasaan politik formal ke dalam berbagai bentuk peraturan perundangan dan rule of the game.

Peringatan tersebut sekarang agaknya semakin relevan. Gejala munculnya politisasi dalam pembuatan undang-undang, dengan masuknya muatan hukum yang tidak aspiratif, tetapi justru karena mengikuti tekanan politik maupun ekonomi. Tidak aneh kalau banyak yang mengenang Habibie setelah kepergiannya, dengan menyebut sebagai bapak demokrasi Indonesia. Sesungguhnya yang lebih bermakna karena Habibie menata kehidupan berbangsa dan bernegara secara demokratis dengan membenahi sistem perundang-undangan, selain momentum memang dibutuhkan panglima penataan hukum yang aspiratif, responsif, dan demokratis.
 
 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya