Headline
Koruptor mestinya dihukum seberat-beratnya.
Transisi lingkungan, transisi perilaku, dan transisi teknologi memudahkan orang berperilaku yang berisiko.
USULAN penganugerahan gelar pahlawan untuk Ratu Kalinyamat hingga kini masih bergulir. Dalam perjalanannya, banyak catatan dan peninggalan sejarah dari jejak perempuan pejuang yang dikenal berani serta dijuluki ‘Rainha de Japara’ itu.
Di bumi Jepara, sejumlah peninggalan fisik, seperti bangunan masjid, istana, petilasan, permakaman, hingga cerita dan catatan sejarah baik di dalam maupun luar negeri menjadi bukti yang tidak terbantahkan.
Para pakar ahli sejarah, arkeolog, ulama, dan peneliti satu per satu membuka tabir tentang kiprah Ratu Kalinyamat yang berkuasa di Jepara dan wafat pada 1579.
Dari semua itu, satu hal yang pasti ialah bahwa keberadaannya bukan merupkan sebuah legenda seperti yang selama ini banyak dikisahkan.
Sebaliknya, bukti primer dan sekunder menjadi bukti tentang kiprah ‘Rainha de Jepara’.
Salah satu tempat paling kontroversial terkait keberadaan Ratu Kalinyamat ialah di kaki bukit Donorojo di Dusun Sonder, Desa Tulakan, Donorojo, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah.
Tempat itu cukup menarik, karena banyak bermunculan berbagai legenda di sana. Menurut cerita yang beredar, lokasi itu dipergunakan putri Sultan Trenggono tersebut untuk bermeditasi setelah kematian suaminya, Sultan Hadirin.
Di lokasi yang menjadi petilasan Ratu Kalinyamat itu, hampir setiap hari didatangi warga dari dalam dan luar Jepara dengan berbagai tujuan. Saat tiba di sana, udara di sekitar terasa sejuk karena terletak di kaki perbukitan.
Pohon-pohon besar tumbuh alami di dekat rumah kecil yang sudah dipugar dan sebuah sendang (danau kecil) terdapat di bagian samping tidak jauh dari rumah itu. Di tempat itu, Ratu Kalinyamat konon bermeditasi dengan cara tapa wuda sinjang rambut atau bertapa telanjang dengan hanya ditutupi rambutnya yang panjang.
Namun, legenda itu terbantahkan karena putri Sultan Trenggono, penguasa Kerajaan Islam Demak pada 1521-1546 itu merupakan perempuan salihah. Dia memiliki pendidikan agama yang mumpuni sehingga tidak mungkin melakukan tapa dalam kondisi telanjang.
Dalam filosofi Jawa, tapa wuda sinjang rambut dapat diartikan bahwa Ratu Kalinyamat berjihad secara habis-habisan, baik menggunakan seluruh harta dan kekuatannya untuk melawan penjajah Portugis hingga olah batin yang berpasrah diri kepada Tuhan.
“Maksud kalimat itu ialah sangat tidak mungkin tapa telanjang dilakukan seorang ratu yang dikenal salihah,” kata penulis sejarah, Hadi Priyanto.
Di lain hal, keberadaan Ratu Kalinyamat kian kuat dengan terungkapnya catatan sejarah dari dalam dan luar negeri tentang putri kedua Sultan Trenggono itu. Seperti pendahulunya, Sultan Pati Unus, dia membuktikan keberaniannya membebaskan Nusantara dari cengkeraman bangsa asing. (Akhmad Safuan/N-3)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved