Headline

Pemerintah belum memastikan reshuffle Noel.

Berbagi Minyak di Wonocolo

M Yakub
27/4/2018 23:30
Berbagi Minyak di Wonocolo
(MI/M A Yakub)

LALU-LALANG sepeda motor dengan keranjang kayu alias rengkek di jok belakang menjadi pemandangan biasa di wilayah Desa Wonocolo, Kecamatan Kedewan, Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur. Di rengkeknya, para pengendara bisa membawa 4-5 jeriken berisi solar atau minyak tanah.

Pada hari 'aman', mereka berani melaju di jalan raya. Namun, saat petugas Polri dan TNI melakukan razia, mereka menggunakan jalur-jalur tikus.

Perengkek merupakan perpanjangan tangan para penambang minyak dari sumur tua peninggalan Belanda di Desa Wonocolo, Dangilo dan Kedewan, Kecamatan Kedewan. Hasil sulingan tradisional itu dijual ke sejumlah wilayah di Jawa Timur, seperti Ngawi, Tuban, Lamongan, Gresik, Surabaya, Madura, hingga ke Jawa Tengah di Blora, Rembang, dan Pati.

"Minyak sulingan itu kemudian dijual di pinggir jalur pantura untuk bahan bakar truk," ujar Tasrifin, 52.

Terlepas dari status penambangan di Wonocolo, legal atau ilegal, sebenarnya sudah ada kesepakatan bahwa hasil dari sumur-sumur tua itu harus disetorkan ke KUD Sumber Pangan. Koperasi ini merupakan bentukan Pertamina dan Pemerintah Kabupaten Bojonegoro. Selanjutnya, koperasi menyetorkannya ke Pertamina. Namun, karena butuh pemasukan lebih, sebagian minyak yang sudah disuling dijual para penambang ke perengkek.

Di sekitar Wonocolo, ada sekitar 300 sumur yang masih berproduksi. Kedalaman sumur sekitar 300 meter. Penambang menggunakan mesin truk untuk mengangkut minyak dari sumur.

"Kandungan minyak terus menurun. Sekitar 1950-an, rezeki berlimpah karena satu sumur bisa menghasilkan puluhan drum minyak, tetapi sekarang, sehari hanya 1 drum," lanjut Tasrifin.

Guna mengantisipasi peristiwa ledakan sumur minyak seperti di Aceh Timur, Pertamina EP Cepu sudah melakukan sejumlah langkah. "Pertamina bakal memperketat prosedur operasional standar," kata Kabag Energi, Dinas ESDM Bojonegoro, Darmawan.

Mirip pasar

Penambangan minyak tradisional dan ilegal juga terjadi di Desa Sungai Angit, Kecamatan Babat Toman, Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatra Selatan. Kegiatan serupa juga dilakukan warga di Penjering dan Mangunjaya.

Dari penelusuran Media Indonesia didapat keterangan, sumur yang diusahakan masyarakat merupakan peninggalan Belanda. Warga mulai menambangnya sejak 1953.

Saat itu, 10-15 ton minyak mentah disedot dari dalam bumi. Warga pun menyuling dengan cara tradisional. Hasilnya, minyak tanah, premium, solar, gas, dan avtur. Pemasaran ke wilayah Sumatra Selatan dan Jambi.

Dari Kecamatan Babat Toman, tambang tradisional menyebar ke Kecamatan Bayung Lincir, Lawang Wetang, Plakat Tinggi, dan Sanga Desa.

Tidak hanya Musi Banyuasin, penambangan tradisional juga dibuka di Kabupaten Musi Rawas Utara, Musi Rawas, Muara Enim, Penukal Abab Lematang Ilir, serta Prabumulih.

Sempat memiliki wadah KUD dan dipayungi peraturan daerah, para penambang kembali menjadi ilegal pada 2009. Minyak mentah tidak lagi dijual ke KUD, tapi langsung ke cukong.

Saat ini Polda Sumatra Selatan mencatat ada sekitar 2.600 sumur minyak tua. Sebanyak 1.400 sumur dikelola dengan kontrak kerja sama PT Pertamina, dan sisanya disedot secara ilegal.

Di Desa Keban, Kecamatan Sanga Desa, Musi Banyuasin, pengeboran minyak mentah terjadi kasatmata, ramai seperti pasar tradisional. Transaksi minyak mentah terjadi secara terbuka.

Di Batanghari, Jambi, sumur minyak ilegal tumbuh di Kecamatan Bajubang. "Kami sudah beberapa kali bergerak dan menutup, tetapi sumur ilegal kembali dibuka warga," aku Humas Pertamina Aset I Jambi, Andrew.

(Bhm/DW/SL/N-2)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya