Tekanan Menimpa Muslim di Prancis

SETELAH terjadi tiga serangan dalam lima minggu terakhir, muslim di Prancis merasa kian tertekan. Sorotan kecurigaan diarahkan kepada mereka kembali, bahkan sebelum tindakan kekerasan ekstremis terbaru muncul.

Presiden Emmanuel Macron terus maju dengan upayanya untuk membersihkan Islam di Prancis dari pengaruh ekstremis sebagai bagian dari proyek yang diberi label 'separatisme', sebuah istilah yang membuat muslim meringis.

"Ini mengkhawatirkan bagi umat Islam. Situasinya tegang. Ada ketakutan," kata Hicham Benaissa, sosiolog yang mengkhususkan diri pada Islam di tempat kerja. Dalam jaringannya, imbuh dia, beberapa pembicaraan muncul tentang keinginan meninggalkan Prancis.

Serangan dan rencana 'separatisme' Macron, yang mencakup perombakan sebagian dari cara Islam diatur di Prancis, dari pelatihan para imam hingga manajemen asosiasi muslim, telah menyaring perpecahan. Perhatian juga tertuju kepada nilai yang dijunjung dari sekularisme--laicite dalam bahasa Prancis-- yang diabadikan dalam Konstitusi Prancis, tetapi masih belum didefinisikan dengan jelas.

"Kehadiran Islam bukanlah sesuatu yang diramalkan oleh masyarakat Prancis," kata Tareq Oubrou, seorang imam terkemuka di Bordeaux.

Ketegangan telah meningkat sejak beberapa tahun terakhir, terutama dengan terjadinya perubahan pada undang-undang sekularisme, memunculkan undang-undang 2004 yang melarang jilbab di ruang kelas dan undang-undang lainnya di 2010 yang melarang penutup wajah.

"Sekularisme selalu menjadi tabir asap, cara tersembunyi untuk menangani masalah Islam," kata Benaissa.

Rim-Sarah Alouane, kandidat doktor di Universitas Toulouse Capitole, yang meneliti kebebasan beragama dan kebebasan sipil, berpendapat kondisi kini lebih sulit. "Sejak 1990-an, laicite telah 'dipersenjatai' dan disalahgunakan sebagai alat politik untuk membatasi visibilitas tanda-tanda agama, terutama yang muslim," katanya.

"Negara perlu memastikan untuk menghormati dan sepenuhnya merangkul keragamannya dan tidak menganggapnya sebagai ancaman," tambahnya.

Populasi terbesar

Islam adalah agama kedua di Prancis. Negara ini memiliki populasi muslim terbesar di Eropa Barat. Akan tetapi, diperkirakan 5 juta muslim di negara itu telah menempuh jalur yang rumit untuk mendapatkan penerimaan penuh di negara kelahiran mereka. Diskriminasi membayangi beberapa orang dan merupakan penghalang langsung untuk mengarusutamakan kehidupan bagi orang lain.

Nilai sekularisme Prancis yang dijunjung tinggi, yang dimaksudkan untuk menjamin kebebasan beragama, dalam beberapa tahun terakhir telah digunakan oleh negara untuk mengatur adat istiadat yang dipraktikkan oleh sebagian muslim. Undang-undang yang diusulkan Macron kini mungkin berarti lebih jauh mengutak-atik undang-undang sekularisme buatan 1905.

Macron sendiri telah memicu protes dan seruan dari kawasan Asia Selatan dan Timur Tengah untuk memboikot produk Prancis. Dia dituduh menyebarkan sentimen antimuslim, terutama saat memuji guru yang terbunuh di dekat Paris, dengan membela hak Prancis untuk membuat karikatur Nabi Muhammad. (CNA/X-11)