Headline
Pemerintah belum memastikan reshuffle Noel.
MASYARAKAT Bosnia mengikuti pemilihan umum (pemilu) pada Minggu (7/10) ini. Hasil pemilu akan menentukan pemimpin masa depan wilayah Balkan yang masih dibayangi garis kemiskinan dan perpecahan antaretnik.
Negara ini dipengaruhi tiga kekuatan utama yang berasal dari kelompok muslim, Serbia, dan Kroasia. Di lain sisi, krisis ekonomi berkepanjangan yang melanda Bosnia membuat masyarakat skeptis dengan pesta demokrasi. Mayoritas warga telah kehilangan rasa percaya pada elite politik yang menggerakkan nasionalis hanya untuk meraih kekuasaan.
“Kelompok nasionalis mungkin bisa menang sekali lagi, tetapi tidak ada yang akan berubah,” ujar Armin Bukaric, pengusaha berusia 45 tahun, saat menyuarakan pandangannya di jalan Kota Sarajevo.
Sistem politik Bosnia yang tergolong kompleks merupakan peninggalan konflik perang antara kelompok muslim, Serbia, dan Krosia, pada 1992-1995. Pertempuran tersebut mengakibatkan 100 ribu orang tewas, membuat jutaan orang telantar dan mengghancurkan roda perekonomian. Seperempat abad berlalu, konflik Bosnia yang diakhiri perjanjian damai (Dayton Peace Accord), nyatanya masih didominasi etnik Serbia dan Krosia, serta kelompok muslim.
Sistem kursi kepemimpinan di Bosnia pun hanya mengacu pada etnik dominan tersebut. Salah satu kanditat utama dari etnik Serbia, Milorad Dodik, merupakan nasionalis pro-Rusia yang kerap menggaungkan ide pemilu terpisah, terutama di wilayah yang didominasi Serbia. Dodik yang memimpin etnik Serbia sejak 2006, mengaku enggan menginjakkan kaki di Ibu Kota Bosnia, Sarajevo, lantaran dianggap wilayah asing.
Apabila Dodik memenangi pemilu, salah satu mitranya dalam kepresidenan, Dragan Covic, bisa menjadi petahana dari etnik Kroasia yang diketahui mendukung penarikan komunal lebih dalam. Partai sayap kanan HDZ, pendukung Covic, mengingkan pembentukan entitas ketiga hanya untuk kalangan Kroasia, yang saat ini tinggal dalam satu wilayah dengan kelompok Muslim Bosnia (Bosniaks).
Tanja Topic, pengamat politik, memandang tujuan utama dari kebijakan etno-nasionalis ialah untuk mempertahankan status quo dan stagnasi yang membantu kepemimpinan dalam pemerintahan. Ada pula pengamat yang berpendapat struktur politik Bosnia sulit untuk dirombak, mengingat pusat kekuatan saling bersaing, berikut maraknya korupsi berjemaah. Di lain sisi, jurnalis ternama di Sarajevo, Ranko Mavrak, menilai iklim politik di negara tersebut sungguh menyedihkan.
“Kami tidak melihat adanya gambaran perubahan di masa depan, baik pada sistem dan stereotip yang mengatur negara ini selama 25 tahun sejak perang berlalu,” ujar Mavrak dalam siaran televisi. (AFP/Tes/I-2)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved