Headline
Pemerintah belum memastikan reshuffle Noel.
DENGAN berbalut kebaya merah dan rok cokelat, Eni Lestari Andayani menarik perhatian para pemimpin dunia dan delegasi yang hadir dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Ke-71 Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di New York, Amerika Serikat, Senin (19/9). Selama 3 menit berpidato di hadapan perwakilan dari 32 negara, Eni menyampaikan pandangannya mewakili 244 juta buruh migran di seluruh dunia. "Sebagian dari kami, janji masa depan yang lebih baik adalah kebohongan. Kami terjerat utang trafficking, perbudakan, hak dasar kami ditolak, rentan dengan kekerasan. Banyak di antara kami hilang dan meninggal. Mimpi kami menjadi mimpi buruk," ujar Eni dalam pidatonya. Saat berbicara di hadapan para pemimpin PBB, kelapa negara, menteri, masyarakat sipil, sektor swasta, organisasi internasional, dan akademisi, Eni berharap buruh migran mendapatkan keadilan. "Jangan bicara tentang kami (buruh migran), tanpa melibatkan kami. Yang kami butuhkan komitmen Anda," ujar Eni.
Eni berharap konvensi internasional tentang buruh migran bisa diwujudkan dalam aksi nyata. Dalam dua tahun ini, Eni berharap PBB bisa membuat kesepakatan yang bisa diwujudkan, berbasis hak asasi manusia, dan memastikan pelaksanaannya tidak menimbulkan eksploitasi, konflik, dan kemiskinan. Sebelum Eni berpidato di KTT Ke-71 PBB, Media Indonesia berkesempatan berbincang melalui sambungan telepon, Rabu (31/8). "Saya merasa terhormat bisa berbicara di hadapan 32 negara, mewakili 244 juta buruh migran di seluruh dunia," kata Eni yang kala itu hendak bertolak ke Hong Kong.
Perempuan asal Kediri itu memang seorang buruh migran Indonesia yang bekerja sebagai pekerja rumah tangga. Selain itu, ia aktif di berbagai organisasi buruh migran termasuk Jaringan Buruh Migran Indonesia (JBMI) Hong Kong dan Ketua International Migrant’s Alliance atau IMA. IMA ia ciptakan bersama sesama buruh lainnya sebagai aliansi formal buruh migran yang terbentuk di Hong Kong pada 2008. Saat ini IMA beranggotakan 120 organisasi buruh migran dari 32 negara di Asia, Afrika, dan Amerika Latin. Eni terpilih dari 400 pendaftar yang disaring menjadi 40 orang dan masuk ke proses seleksi bersama 30 orang dari berbagai negara. Eni berpidato bergantian dengan dua aktivis HAM dari Irak, Nadia Murad Basee Taha alias Nadia Taha dan Mohammed Badran dari Suriah. Masing-masing dari mereka diberi waktu 3 menit untuk berpidato. "Saya diberi waktu 3 menit untuk berbicara meyakinkan kepada semua yang hadir pesan dari rakyat khususnya buruh migran," kata Eni.
Tiga pesan
Saat ditanya perihal prestasinya di bidang buruh migran, ia mengaku sangat tak menyangka. Pencapaian itu diawali dengan menjadi asisten rumah tangga di Hong Kong pada 1999. Selama di sana, ia sering bertemu sesama buruh dan mulai mendirikan sebuah aliansi bersama teman seperjuangannya. Bahkan hingga saat ini ia masih menekuni pekerjaannya.
Berbicara tentang kondisi buruh di berbagai negara menjadi kesempatan besar bagi Eni. Setidaknya tiga pesan penting bagi semua pihak, yakni semua negara di dunia harus mengedepankan hak dan menjunjung tinggi kesejahteraan pekerja dan manusia. Negara penerima buruh migran diminta tidak menempatkan mereka sebagai masyarakat kelas dua serta negara pengirim jangan membiarkan praktik eksploitasi dan perdagangan manusia (human trafficking) terhadap buruh migran.
"Pengiriman TKI menjadi strategi pembangunan kas negara. Negara kita melegalisasikan perdagangan manusia, sementara korban pelanggaran HAM tidak dijamin hak menuntut dan mendapatkan ganti rugi. Rasialisme dan diskriminasi skala kecil hingga besar menjadi masalah kami," kata Eni. Hingga kini, yang Eni lakukan bersama teman-temannya sesama aktivis ialah bersosialisasi dan mengedukasi masyarakat lokal. Eni berharap KTT PBB itu menjadi bahan evaluasi kepada semua negara termasuk pemerintah Indonesia. "Berharap pemerintah bisa mengikuti cara PBB yang bisa berdialog langsung dengan pihak berkaitan secara terbuka," kata Eni di akhir pembicaraannya. (M-4)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved