Headline
. AS kembali memundurkan waktu pemberlakuan tarif resiprokal menjadi 1 Agustus.
. AS kembali memundurkan waktu pemberlakuan tarif resiprokal menjadi 1 Agustus.
Penurunan permukaan tanah di Jakarta terus menjadi ancaman serius.
INDONESIA mestinya menjadi surga bagi para penyandang disabilitas dari sisi regulasi dan perundang-undangan. Namun, yang terjadi selama ini, masih sering muncul kasus perundungan, perlakuan diskriminatif, juga hambatan untuk mendapatkan akses layanan publik, pendidikan, ketenagakerjaan, kesehatan, dan lain-lain bagi penyandang disabilitas.
Berbagai kebijakan pemerintah itu sejauh ini terkesan masih belum ramah bagi para penyandang disabilitas. Mengapa demikian? Pertanyaan besar itu secara panjang lebar dikupas oleh Prof Dr Munawir Yusuf, Guru Besar Manajemen Pendidikan Inklusif Fakultas Keguruan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta, dalam perbincangan khusus dengan Media Indonesia di kantor Pusat Studi Difabilitas (PSD) Lembaga Penelitian dan Pengembangan Masyarakat (LPPM) UNS, Senin (24/1).
Menurut pria energik yang menjabat sebagai Kepala PSD LPPM UNS itu, kondisi yang belum ramah bagi penyandang disabilitas tersebut terjadi karena banyak faktor. Salah satunya ialah wilayah Indonesia yang terlalu luas sehingga berbagai kebijakan pemerintah sangat lama sampai ke daerah, dan lambat diterjemahkan oleh pemda.
"Salah satu faktornya ialah terlalu luasnya wilayah Indonesia sehingga meski regulasi diketuk di Jakarta sudah bertahun-tahun, tapi belum sampai ke bawah atau di daerah. Saya punya pengalaman bertahun-tahun terkait keberadaan regulasi yang mestinya menjadi surga bagi penyandang disabilitas tapi kenyataan belum diterima secara ramah bagi mereka," kata dia.
Dalam bidang pendidikan, Munawir melihat keseriusan pemerintah memperbaiki sistem pendidikan segregasi yang sudah satu abad berlangsung di Tanah Air, yang membuat anak anak berkebutuhan khusus dipisahkan dari komunitas normal, dengan adanya UU No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (SPN). UU No 20/2003 mengharuskan setiap sekolah reguler menerima para warga berkebutuhan khusus.
Inilah pertama kali Indonesia mengenal pendidikan inklusif setelah lebih dari satu abad melaksanakan sekolah segregasi.
Sayangnya banyak daerah yang gagap mengimplementasikan di lapangan. Apalagi peraturan Menteri Pendidikan Nasional yang menjabarkan secara detail pelaksanaan pendidikan inklusif baru keluar 6 tahun kemudian lewat Permendiknas Nomor 70 Tahun 2009.
Yang jelas, lanjut pria yang menjabat sebagai Ketua Asosiasi Profesi Pendidikan Khusus Indonesia (APPKhI) ini, begitu mendapatkan legalitas formal terkait pendidikan inklusif seperti tertuang dalam Permendiknas Nomor 70 Tahun 2009, pihaknya langsung melakukan sosialisasi masif ke daerah-daerah.
"Kita langsung sosialisasikan secara masif ke banyak daerah melalui berbagai pelatihan, dan juga gerakan untuk provinsi inklusif, kabupaten dan kota inklusif. Ini perlu waktu panjang, belum bisa merata ke 400 lebih kabupaten/kota karena terlalu luasnya wilayah Indonesia," imbuh dia.
Banyak yang masih perlu dikerjakan pemerintah agar seluruh perundangan dan regulasi tentang disabilitas benar-benar bisa diterjemahkan secara benar dan efektif di daerah lewat peraturan daerah (perda). Sejauh ini, masih banyak pejabat di daerah mempertanyakan keberadaan peraturan turunan untuk dipergunakan sebagai dasar pembuatan perda.
"Sudah lebih dari 10 tahun saya berceramah ke banyak daerah soal regulasi disabilitas. Ternyata masih saja ada pejabat struktural yang bertanya, apakah saya masih punya peraturan menteri. Ini menunjukkan begitu lamanya regulasi seusai diketik di Jakarta bisa sampai di bawah," jelasnya membuat ilustrasi.
Masih sedikit
Sejauh ini, dari 540 kabupaten/kota, baru sekitar 16% yang mampu membuat perda untuk menerjemahkan UU atau regulasi turunan yang dibuat pemerintah pusat. Dan, hingga kini, meski payung hukum sudah lengkap, perdebatan atau perlakuan diskriminatif bagi penyandang disabilitas masih saja terjadi di mana-mana.
Satu contoh yang tidak bisa ditutupi, misalnya dalam rekrutmen pegawai pemerintah, sudah jelas regulasi pemerintah mengatur dari 100 calon pegawai yang diterima, 2% di antaranya untuk penyandang disabilitas. Demikian juga di sektor swasta, dari 100 yang diterima, 1% adalah hak penyandang disabilitas.
Kenyataan di lapangan, cukup banyak yang diabaikan. "Satu contoh ada calon ASN dinyatakan diterima di satu pemda di Jawa Tengah, tapi akhirnya didiskualifikasi setelah diketahui ia penyandang disabilitas. Kita dari APPKhI bentuk tim membantu menangani perkara yang bergulir di pengadilan, dan akhirnya menang," kata dia sembari mengilustrasikan kejadian serupa di perusahaan swasta.
Selain seabrek perundangan dan regulasi disabilitas, Presiden Jokowi juga telah memerintahkan Bappenas untuk membuat rencana induk pengembangan disabilitas (RIPD). Sebuah penghormatan, pelindungan, dan pemenuhan hak penyandang disabilitas.
Cakupan yang ada di RIPD itu pun luar biasa karena ada tujuh sasaran yang akan dikerjakan. Selaku pengelola Pusat Studi Difabilitas (PSD) LPPMK UNS, Munawir mencermatinya sebagai hal sangat bagus. Namun, karena belum ada setahun dibuat, diyakini keterlaksanaannya di lapangan masih akan jauh dari harapan.
Ia menguraikan, seperti sasaran pertama terkait pendataan dan perencanaan inklusif, dari 548 pemda, baru 113 pemda atau sekitar 20,6% yang memiliki perda.
Begitu juga halnya soal penyediaan lingkungan tanpa hambatan sebagaimana diatur Permenhub Nomor 98/2017 tentang Aksesibilitas bagi Pengguna Jasa Berkebutuhan Khusus, yang merupakan sasaran kedua, dicermati belum semua daerah siap.
Hal sama menyangkut sasaran ketiga terkait perlindungan hak dan akses politik dan keadilan, sebagaimana diatur dalam UU No 7/2017 tentang KPU, juga tidak optimal dilaksanakan di daerah.
Lalu sasaran keempat menyangkut pemberdayaan dan kemandirian yang diatur lewat Permensos 7/2017 tentang Standar Habilitasi dan Rehabilitasi Penyandang Disabilitas pun masih minim terlaksana di daerah.
Sasaran kelima, untuk upaya perwujudan ekonomi inklusif sebagaimana Perpres 114/2020 tentang Strategi Nasional Keuangan Inklusif, serta UU No 8/2016 tentang Kuota Tenaga Kerja Penyandang Disabilitas, perlu kerja keras seluruh daerah untuk implementasinya.
Pendidikan dan keterampilan merupakan sasaran keenam yang diatur lewat PP 13/2020 terkait akomodasi yang layak bagi kaum disabilitas, serta sasaran ketujuh menyangkut akses dan pemerataan layanan kesehatan, yang juga masih perlu diperjuangkan secara terus-menerus.
"Pertanyaan besarnya ialah RIPD baru dibuat tahun 2021 dan harapan untuk keterlaksanaan di lapangan masih jauh," lanjut Munawir.
Di saat yang sama Indonesia juga menjadi bagian dari negara yang wajib melaksanakan SDG’s (Sustainable Development Goals), yang salah satu isu pokonya ialah tentang inklusi sosial.
Munawir membeberkan, beberapa kebijakan pemerintah sudah mulai tampak, seperti kebijakan pembangunan ekonomi inklusif, pendidikan inkusif, provinsi inklusif, dan kabupaten/kota inklusif.
"Tetapi sampai di tingkat operasional, banyak penyandang disabilitas yang sulit mendapatkan informasi dan akses kesetaraan. Misalnya layanan kesehatan, bantuan kompensasi dampak pandemi covid-19," terangnya.
Hambatan kebijakan
Berbagai hambatan yang menghadang dalam kebijakan disabilitas ini antara lain basis data yang digunakan pemerintah tidak berasal dari satu sumber yang sama. Tiap-tiap kementerian punya data sendiri-sendiri.
Selain itu, terminologi disabilitas belum dijadikan standar rujukan yang sama oleh pengambil kebijakan karena pemahamannya juga berbeda-beda.
Sensus penduduk pun diakui belum secara lengkap menjaring kelompok sasaran disabilitas. Perlu digitalisasi penyandang disabilitas yang tersentral dan diinput sejak anak lahir ditemukan disabilitas, yang datanya mesti dapat diakses oleh semua pihak berkepentingan.
Di samping itu, Munawir melihat kebijakan layanan untuk pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas masih bersifat sporadis. Bangunan-bangunan yang dibuat sering jauh dari fasilitas yang aksesibel untuk penyandang disabilitas.
Seperti pasar, perkantoran, tempat ibadah, lembaga pendidikan, dan sarana transportasi, masih banyak yang jauh dari aksesibel bagi kaum disabilitas. Masih banyak pula masyarakat yang underestimate terhadap penyandang disabilitas.
"Masyarakat baru respek atau memberikan perhatian setelah mereka bisa menampilkan kinerja identitas di luar disabilitasnya," ujar Munawir.
Menurutnya, banyaknya kebijakan pembangunan yang tidak berbasis riset. Hal itu terjadi karena riset yang ada masih dilihat sebelah mata.
Dalam rangka pembangunan berkelanjutan yang memenuhi kebutuhan masyarakat dan kesetaraan, PSD LPPKM UNS mendorong perlu dikembangkan semacam roadmap atau peta jalan riset berperspektif disabilitas di Indonesia.
"Melalui peta jalan riset disabilitas maka setiap perguruan tinggi dan lembaga riset di Indonesia dapat menjadikan rujukan dan payung penelitian secara berkelanjutan. Pemerintah melalui lembaga riset yang dimiliki pun harus aktif melakukan riset evaluasi dan riset kebijakan terkait dengan disabilitas," tukas Munawir. (N-1)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved