Headline
Dalam suratnya, Presiden AS Donald Trump menyatakan masih membuka ruang negosiasi.
Dalam suratnya, Presiden AS Donald Trump menyatakan masih membuka ruang negosiasi.
Tidak semua efek samping yang timbul dari sebuah tindakan medis langsung berhubungan dengan malapraktik.
BERDIRI lima tahun lalu, The Able Art tetap hidup berkat kegigihan pendirinya, Tommy Budianto. Bahkan The Able Art sempat meraih juara ketiga pada Makerfest 2018, program pemberdayaan kreator lokal oleh Tokopedia dan mendapat hadiah modal bisnis Rp200 juta.
Rupanya, usaha keras itu tidak datang dari dirinya sendiri, tapi terinspirasi dari para penyandang tunadaksa, tunarungu, atau tunawicara yang menjadi pelukis mitra di The Able Art.
"Awalnya saya pikir untuk membantu ekonomi. Bagaimana mereka dapat penghasilan yang rutin sebulan sekali ketimbang mereka jual lukisan kadang sebulan, dua bulan, atau tiga bulan sekali. Padahal makan harus setiap hari," katanya.
Namun, setelah melihat reaksi para pelukis disabilitas yang begitu bangga dan senang saat karya lukisan pada produk reproduksinya diminati masyarakat, yang membuat mereka sangat termotivasi untuk lebih produktif, Tommy mendapat pemahaman baru akan pemberdayaan. "Itu yang buat saya cukup semangat walaupun jalannya sempit. Orang mau kerja kayak gini enggak harus jadi Bill Gates dulu. Saya begini lebih merasa meaningful," tuturnya.
Motivasi Tommy juga berasal dari Kadek Windari Karunadhita, 30, pelukis disabilitas dari Buleleng, Bali, yang mengalami muscular dysthropy (pelemahan massa otot dan tulang).
Berasal dari keluarga tidak mampu, Winda berjuang untuk menjadi produktif sejak mengidap kelainan genetik pada usia sekolah dasar. Meskipun lahir normal, Winda dan kakaknya, Putu Agus Setiawan, serta almarhum adiknya mengalami perubahan serupa saat masih kecil. Kondisi finansial yang tidak memungkinkan membuat mereka tidak bisa melanjutkan pengobatan.
Namun, sang ibu Ni Komang Warsiki giat mendidik anak-anaknya untuk belajar menulis, membaca, dan berkarya dari bakat yang dimiliki. Apalagi sepeninggal ayahnya, Ketut Punia, pada 2014, Winda membantu ibunya yang kerja serabutan hingga akhirnya menjadi tulang punggung keluarga setelah karya-karyanya terjual sampai ke Australia, Belanda, Amerika Serikat.
Di tengah kondisinya itu, Winda tetap senang berbagi. Tommy mengungkapkan Winda masih menyisihkan hasil penjualan lukisan dan royalti Able Art untuk yayasan kanker, kaum duafa di kampung halamannya, dan teman-teman disabilitas di Bali.
Hingga saat ini, Winda masih menginspirasi Tommy dengan ketekunannya untuk tetap produktif melebihi orang-orang yang tidak memiliki kebutuhan khusus. "Dia (Winda) itu bangun dari jam lima pagi. Jadi jam lima itu dia Whatsapp saya, 'Selamat pagi, Kak Tommy'. Dan dia belajar melukis sampai jam sepuluh malam. Padahal dia tinggal di pelosok, sangat pelosok, tapi mau belajar autodidak. Malah orang-orang begitu yang sangat respect, inspiratif, dan memotivasi," pungkasnya. (Irene Harty/N-1)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved