Headline
Sebagian besar pemandu di Gunung Rinjadi belum besertifikat.
Sebagian besar pemandu di Gunung Rinjadi belum besertifikat.
SAAT menelusuri mural di sepanjang jalan Daerah Istimewa Yogyakarta, Tommy Budianto, pendiri The Able Art, terpaku pada kalimat berbahasa Jawa 'Urip iku urup', yang artinya hidup itu bercahaya. Kala itu, Tommy memang sedang mencari cara untuk memberikan cahaya dalam hidup meskipun kecil bagi para penyandang disabilitas.
Dorongan besar muncul sejak melihat seorang pelukis tunadaksa, Sadikin Pard, pada 2016 silam di salah satu acara televisi. Sadikin mampu berkarya dengan mulut dan kakinya di atas kanvas.
Tommy yang menyukai kegiatan sosial dan ingin memberi lebih pun berinisiatif mendirikan social enterprise khusus untuk karya-karya kaum difabel agar mereka lebih percaya diri, produktif, dan mandiri. Setelah setahun survei, akhirnya ayah dua anak ini mendirikan The Able Art. Dengan tagline Buy with Purpose, The Able Art memiliki simbol hati yang mewakili kehidupan berpadu dengan lilin yang memaknai cahaya.
"Satu-satunya yang saya desain di Able Art itu cuma logo. Jadi itu pesan. Kita ingin jadi cahaya yang menerangi dan syukur-syukur menginspirasi orang-orang melakukan hal yang sama atau teman-teman disabilitas untuk mandiri, tidak terus bergantung sama saya," ujarnya saat dihubungi Media Indonesia baru-baru ini.
The Able Art memiliki konsep reproduksi hasil-hasil lukisan para seniman disabilitas untuk dicetak ke dalam hijab, scarf, tote bag, kalender, atau tas-tas laptop. Profit penjualan baik dari e-commerce, pameran, atau pesanan dikembalikan kepada para seniman sebesar 55%. Sisanya, 40% untuk operasional The Able Art dan 5% menjadi funding basket peralatan bagi para pelukis pemula yang ingin belajar tapi terkendala finansial.
Saat ini, selain menggandeng Sadikin Pard, The Able Art juga bermitra dengan Kadek Windari Karunadhita, Eyang Wibowo, Rodhi Art, dan pelukis disabilitas lainnya serta sanggar lukis binaan Kak Toto untuk terapi anak-anak autis.
Bergerak sebagai katalisator, The Able Art tetap bertahan pada perubahan drastis saat pandemi. Dengan tetap memberi perlengkapan belajar bagi delapan pelukis pemula yang tersebar di berbagai daerah, The Able Art dapat tetap hidup setelah bersinergi dengan handycapable.com, platform khusus yang menjual produk-produk karya penyandang disabilitas.
Dari platform tersebut pesanan rutin tetap datang walaupun belum mendongkrak pendapatan yang merosot 80%. Dari sepuluh korporasi yang dulu rutin memesan, saat ini hanya beberapa yang masih aktif. Sebelum pandemi covid-19 datang, tepatnya saat Lebaran dua tahun lalu, The Able Art mendapat omzet lebih dari Rp70 juta karena banjir pesanan hijab dan tote bag senada yang datang dari akun e-commerce Tokopedia, laman theableart.com, Instagram @theableart, atau kontak lewat ponsel.
Keseriusan dan ketulusan
Butuh banyak orang berarti butuh lebih banyak dukungan agar para penyandang disabilitas lebih produktif. Tommy menganggap sejauh ini dukungan dari pemerintah belum cukup serius dan tulus. Pertama, keseriusan dari penerapan undang-undang tenaga kerja untuk kaum difabel, 2% untuk badan usaha milik negara dan 1% untuk perusahaan swasta, belum terlaksana. "Saya kan kerja di IT company, di sana enggak ada karyawan difabel. Kalau saya tanya, dijawab enggak ada yang ngecek. Kalau kita enggak mematuhi aturan, pasti kan ada sanksinya. Ini enggak ada. Andaikan itu diaudit Kementerian Sosial. Ketidakseriusan pemerintah saya lihat di situ," papar pengusaha yang hobi naik gunung ini.
Kedua, saat diadakan pameran untuk karya-karya para difabel baik daring maupun luring. Tommy berharap penyelenggara dari pemerintahan menyediakan akses yang memadai tanpa mengorupsi nilai tender.
Konsistensi dari ranah publik juga perlu didorong. Bukan hanya aktif saat momen Hari Disabilitas Internasional, tetapi juga memiliki roadmap yang jelas untuk mendorong produktivitas para penyandang disabilitas. Tommy berpendapat perlunya sosok difabel yang patut dijadikan ikon atau teladan bagi seluruh penyandang disabilitas. Sosok itu dapat diusung oleh banyak pihak, seperti partai politik, untuk memotivasi para difabel.
Bagi Tommy, The Able Art tidak hanya milik dirinya atau keluarganya, tapi juga milik semua orang yang memiliki panggilan hati untuk turut berpartisipasi di dalamnya. Dia sangat mendukung para difabel yang ingin mandiri, berproduksi sendiri, hingga memiliki profitnya sendiri.
"Mimpi saya bukan Able Art sampai satu titik jadi besar, jadi korporat. Mimpi saya kayak gini ini, Saya ingin mendorong teman-teman disabilitas lebih produktif. Dari yang ada di bawah ke tengah. Yang kemampuannya ada di tengah ke atas. Setelah di atas sudah lulus. Jadi seperti sekolah," paparnya. (N-1)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved