Headline
PRESIDEN Amerika Serikat (AS) Donald Trump telah menetapkan tarif impor baru untuk Indonesia
PRESIDEN Amerika Serikat (AS) Donald Trump telah menetapkan tarif impor baru untuk Indonesia
MALAM itu, sekitar pukul 18.00 WIB, langit sudah pekat menyelimuti Dusun Bambangan
SATU kata yang sepertinya tidak pernah lepas dari novelis Dewi Lestari, 44, ialah riset. Dewi yang memiliki nama pena Dee itu hampir selalu menyelipkan unsur pengetahuan dan faktual dalam tiap ceritanya, dari riset yang panjang, meskipun berada di genre fiksi.
Riset, kata Dewi, menjadi kekuatan penting dalam menciptakan dunia dalam karya fiksi. Namun, ia juga menegaskan proses tersebut lahir dari kebutuhan cerita yang akan dibentuk.
“Riset itu berawal dari kebutuhan. Jadi kalau hendak menulis sesuatu yang sepenuhnya kita pahami betul, baik secara latar, seluk-beluk, mekanisme, dan segala hal tentang topik yang kita tahu, itu tidak butuh riset. Riset itu datang dari ketidaktahuan,” kata Dee saat menjadi pembicara di program utama Ubud Writers & Readers Festival (UWRF) 2020 yang dilangsungkan secara daring, Minggu (1/11).
Riset dibutuhkan sebagai bahan bakar untuk membangun dunia imajiner dalam karya fiksi untuk menjadi buku. Riset tidak hanya dilakukan saat prapenulisan, tapi juga dalam penulisan hingga penyuntingan. Kebutuhan meriset saat tahap akhir juga bisa dimanfaatkan untuk mengecek ulang data dan fakta. “Dalam analogi saya, dia sebagai kanvas besar, di atasnya kita lukis karakter, drama, plot di sebuah ranah atau dunia yang namanya proses pembangunan dunia (world building),” urai penulis novel Aroma Karsa tersebut.
Diakui Dewi, riset memang sangat panjang prosesnya. Dewi pun mengungkapkan pentingnya membangun hubungan baik dengan narasumber. “Karena kita harus konstan dan secara konsisten untuk mengontak mereka kalau ada yang perlu dicek ulang tentang fakta dan data,” tambah perempuan kelahiran Bandung, 20 Januari 1976 itu.
Jadi pengetahuan
Dalam program bertajuk How to Research for Fiction itu, Dee mencontohkan saat ia menulis novel Filosofi Kopi, yang ditulisnya pada medio 1996. Ia melakukan riset dengan saksama. Meski dirinya penggemar kopi, dia belum pernah melihat tanaman atau pohon kopi secara langsung.
Sumber informasi didapatnya dari buku ensiklopedia, artikel, dan berita di internet.
Pada Aroma Karsa (2018) Dee mencoba menarasikan tema fiksinya melalui eksplorasi indra penciuman dan aroma. Riset dilakukannya ke TPA Bantar Gebang, Gunung Lawu, mengikuti kursus peracikan parfum di Singapura, hingga mencium bau muntahan paus.
Karena kekuatan riset juga, novel fiksi Aroma Karsa karangan Dewi Lestari terpilih menjadi Book of the Year 2018. Novel setebal 700 halaman itu dirampungkan selama dua tahun dan menjadi ‘anak’ ke-12 Dewi, setelah seri Supernova dan Inteligensi Embun Pagi.
Dewi memang meyakini, sesuatu yang didapat dari riset kelak akan menjadi pengetahuan karakter, alih-alih suara penulis. (H-2)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved