Headline
Tingkat kemiskinan versi Bank Dunia semakin menjauh dari penghitungan pemerintah.
Tingkat kemiskinan versi Bank Dunia semakin menjauh dari penghitungan pemerintah.
Perluasan areal preservasi diikuti dengan keharusan bagi setiap pemegang hak untuk melepaskan hak atas tanah mereka.
KEMENTERIAN Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) tengah menghitung penurunan emisi karbon teranyar. Data-data terkait jumlah emisi karbon yang dilepaskan memasuki tahapan verifikasi.
"Untuk penurunan emisi karbon terbaru (2017) sedang dihitung dan diverifikasi. Akhir tahun paling lambat sudah selesai," kata Direktur Mitigasi Perubahan Iklim KLHK Emma Rachmawaty, Jumat (7/9).
Dia menambahkan hasil inventarisasi gas rumah kaca (GRK) nasional pada 2016, menunjukkan Indonesia mampu menurunkan emisi karbon sebesar 8,7%, dari target penurunan emisi 29% (atau 834 juta ton CO2e) pada 2030. Target tersebut tercantum dalam Nationally Determined Contribution (NDC) Indonesia.
Untuk mencapai kontribusi penurunan emisi sebesar 29%, lanjutnya, perlu adanya upaya peningkatan aksi mitigasi semua pihak. Pemerintah provinsi, kabupaten, kota, dunia usaha dan masyarakat diharapkan bisa berkontribusi dalam mitigasi.
Untuk memudahkan pencatatan upaya-upaya penurunan emisi, lanjutnya, KLHK telah membangun Sistem Registri Nasional Pengendalian Perubahan Iklim (SRN PPI). SRN PPI dibentuk mencangkup pendataan seluruh aksi dan sumber daya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim di berbagai sektor.
Sementara itu, negara para pihak (parties) konferensi perubahan iklim UNFCCC bertemu menghadiri Bangkok Climate Change Conference, di Bangkok, Thailand. Para negara berjuang menyepakati teks negosiasi mengenai modalities, procedures, and guidelines (MPGs) dari Paris Agreement Rule Book (PA Rule Book) yang tak bisa dituntaskan pada COP 23 di Bonn, Jerman, tahun lalu.
Mewakili delegasi Indonesia, Penasihat Senior Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Bidang Perubahan Iklim dan Konvensi Internasional, Nur Masripatin, mengatakan pertemuan yang akan berlangsung hingga 9 September mendatang itu masih berjalan alot.
"Perkembangan negosiasi sangat alot karena kepentingan negara-negara beragam. Yang paling alot adalah tentang pendanaan, bagaimana dan informasi apa saja yang harus dicantumkan dalam laporan negara maju terkait penyediaan dan mobilisasi pendanaan iklim untuk negara berkembang sesuai mandat Paris Agreement. Negara-negara berkembang yang masuk emerging economies juga berhati-hati apabila tanggung jawab tersebut terbagi dipikul bersama," ujar Nur dihubungi dari Jakarta.
Dari pertemuan tersebut, lanjutnya, akan dihasilkan draft teks negosiasi yang ditargetkan diadopsi negara pihak UNFCCC dalam COP 24 yang bakal diselenggarakan di Katowice, Polandia, Desember 2018.
"Delegasi Indonesia telah menyiapkan posisi, yang dituangkan ke dalam draft teks yang siap untuk dinegosiasikan seminggu ke depan," ujarnya.
Pertemuan di Bangkok, menurut Nur, dibahas elemen-elemen utama dari Paris Agreement Rule Book yaitu, Nationally Determined Contributions (NDCs), Adaptation Communication, Transparency of Action and Support, Global Stocktake, Compliance, dan dukungan untuk pelaksanaan Paris Agreement berupa climate finance dan teknologi.
Sementara pada pembukaan konferensi itu, Perdana Menteri Fiji selaku Presiden COP 23, Frank Bainimarama, menyampaikan sesi perundingan di Bonn dipandang belum menghasilkan perkembangan yang signifikan pada semua elemen PA Rule Book. Karena itu, diperlukan sesi tambahan yang memberikan kesempatan kepada negara para pihak untuk dapat menghasilkan draft teks dengan tingkat kedetilan yang memadai untuk dinegosiasikan. (OL-4)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved