Headline
Pemerintah belum memastikan reshuffle Noel.
SEBELUM berubah menjadi lumbung air untuk irigasi, lahan seluas hampir 2 hektare di Desa Doho, Kecamatan Girimarto, Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah, itu masih berupa hamparan tanah kering, beberapa tahun lalu.
Tanah kas desa atau dalam bahasa lokal disebut tanah bengkok itu dikelola perangkat desa dan difungsikan sebagai embung. Lokasi untuk membangun embung memang sengaja dicari di dataran lebih tinggi agar mampu mengalirkan air ke daerah yang lebih rendah. Dengan begitu, tidak perlu pompa untuk mengalirkan air.
Proses pengerjaan embung tidaklah singkat. Setelah memakan waktu tujuh bulan barulah embung yang dibuat dengan material geomembran itu selesai. Penggunaan geomembran untuk menghindari retak rambut, seperti yang terjadi bila menggunakan semen. Geomembran diklaim mampu bertahan hingga 30 tahun.
"Pemilihan bahan geomembran sendiri menjadi sangat penting, yakni dengan spesifikasi high density polyethelene (HDPE), anti-UV, antisalinitas dan feed grade sehingga tahan dari keretakan dan bisa didiami oleh ikan untuk mengurangi risiko perkembangbiakan jentik," jelas Pratomo, Direktur Eksekutif Yayasan Obor Tani, saat peresmian Embung Doho, Kamis (19/4).
Pembangunan embung yang diprakarsai Coca-Cola Foundation Indonesia itu menggandeng Yayasan Obor Tani sebagai mitra kerja untuk seluruh proses pengerjaan. Nantinya, kegunaan utama embung yang memiliki kedalaman 3 meter itu sebagai sumber irigasi sawah dan kebun warga Doho. Sebab, kata Agus Suhartono, Kepala Desa Doho, air untuk konsumsi rumah tangga sudah terpenuhi dari beberapa sumber di desa yang letaknya tak jauh dengan Gunung Lawu.
Dalam pembuatan embung, ada beberapa syarat dasar yang perlu diperhatikan. Menurut Firdaus Ali, Staf Khusus Kementerian PU-Pera Bidang Sumber Daya Air, selain suatu daerah yang akan dibangun embung harus memiliki curah hujan, kondisi tanah harus diperhatikan.
"Ada lahan yang cukup untuk menampung, kondisi tanah stabil, dan kemiringan maksimum 45 derajat," ujarnya.
Pertanian berkelanjutan
Desa Doho terdiri atas tujuh dusun. Sebagian besar warga melakukan sistem pertanian tadah hujan. Beberapa varietas yang ditanam ialah padi dan palawija. Dalam setahun, warga biasanya dua kali panen.
Embung yang diperkirakan dapat menampung air hujan hingga 15 ribu m3 (15 juta liter) itu akan disalurkan ke beberapa lahan pertanian warga. Menurut Gatot Adji Soetopo, Pembina Yayasan Obor Tani, pendistribusian air embung harus adil.
"Minimal ada 100 anggota petani yang menggunakan air embung. Nantinya, supaya pemanfaatannya rata, lahan petani tidak boleh lebih dari 2.000 meter persegi yang dialiri air embung. Dengan demikian, tidak ada persaingan," ujar Gatot.
Dalam menghadapi krisis air, kembali Firdaus menjelaskan, embung ialah salah satu upaya untuk menuju ketahanan air. Manfaatnya pun bisa dirasakan secara langsung oleh masyarakat ketimbang sumur resapan.
"Krisis air itu bukan hanya selalu diartikan sebagai kekurangan air, tapi kelebihan air pun akan menjadi krisis ketika mendatangkan bencana. Untuk itu, embung ialah salah satu cara menuju ketahanan air. Cukup menampung air hujan, yang digunakan untuk penyiraman tanaman atau irigasi, yang nantinya air tersebut akan kembali ke tanah," tambahnya.
Kini Embung Doho sudah memiliki volume tinggi hingga 2,3 meter, dari total kedalaman 3 meter. "Kita baru selesai di November. Jadi, ada dua musim hujan yang terlewatkan. Kalau saja di September kemarin kita sudah selesai, pasti sekarang sudah full," tambah Pratomo.
Selain untuk irigasi lahan padi dan palawija, lanjutnya, rencana lain sudah disiapkan, yakni menanam tanaman buah-buahan di area sekitar embung. Itu ditujukan untuk meningkatkan nilai ekonomi masyarakat, termasuk rencana menjadikan Embung Doho sebagai salah satu tujuan wisata.
"Wisata tentu yang kedua, utamanya, bagaimana masyarakat memiliki pola pikir bahwa air adalah investasi tabungan untuk masa depan," kata Pratomo lagi.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved