Headline
RI dan Uni Eropa menyepakati seluruh poin perjanjian
Indonesia memiliki banyak potensi dan kekuatan sebagai daya tawar dalam negosiasi.
KATA minder tidak ada di dalam kamus hidup Slamet Tohari. Dosen di Universitas Brawijaya Malang ini justru menganggap apa yang terjadi pada dirinya bukanlah keterbatasan, melainkan semata setiap manusia memiliki keunikan.
Terjangkit virus polio sejak usia satu tahun delapan bulan membuat Slamet tak bisa berjalan layaknya kebanyakan orang. Ia tetap bermain dengan sebayanya, tetapi dengan cara duduk sambil menyeret badannya. Kedua orangtuanya pun tak henti mencari obat agar sang anak bisa kembali seperti sedia kala.
Menjadi bahan ejekan justru membuat dirinya semakin kuat. Bahkan, ia semakin ingin membuktikan kemampuannya yang setara dengan orang normal. Karena itu, sejak sekolah dasar hingga sekolah menengah atas, Slamet selalu sekolah umum. Kemudian, ia membuktikan kembali dengan menjadi salah satu murid pada perguruan tinggi negeri hingga menyelesaikan pendidikan master di University of Hawaii.
"Saya sering digendong ibu sembari diceritakan tentang kisah Nabi Ayub, yang ditinggalkan karena kulitnya mengelupas dan mengeluarkan bau. Berulang kali ibu cerita itu hingga saya mengerti saat saya dilepas untuk bermain sendiri dan diejek kawan-kawan. Oh saya harus seperti Nabi Ayub yang sabar dan tetap baik hati," ujar Slamet yang datang dengan menggunakan bantuan tongkat.
Dalam melanjutkan pendidikan, Slamet banyak melakukan hal, termasuk melakukan pengiritan tempat tinggal. Sang kakak hanya mampu membiayai kuliah. Ia pun memutar otak untuk bisa membiayai hidup, salah satunya dengan tinggal di masjid hingga lulus karena pengurus masjid juga sedang membutuhkan takmir. Lalu kemampuan menulis yang didapat dari kebiasaannya membaca sejak kecil ikut membantu dirinya mendapatkan tambahan uang. Kini, selain sebagai dosen, Slamet menggagas Pusat Studi dan Layanan Disabilitas (PSLD) Universitas Brawijaya, tempatnya mengajar.
Ia merasakan ada kesulitan akses bagi penyandang disabilitas untuk berkompetisi demi menjadi bagian dari perguruan tinggi negeri. Selain banyak dari mereka yang mengenyam pendidikan di sekolah luar biasa (SLB), kesulitan secara ekonomi membuat pendidikan tidak tergapai.
Melalui PSLD, Slamet memperjuangkan kaum disabilitas agar mendapatkan kuota tersendiri sebagai langkah percepatan keadilan. Ia dan teman-teman PSLD pun gencar melakukan sosialisasi ke sekolah-sekolah perihal dibukanya kuota khusus penyandang disabilitas. Terbukti pada 2012 kuota berjumlah 12 kursi dan di 2017 meningkat menjadi 32.
Tidak anggap diri cacat
Jika tak ada motivasi, akan sulit bagi dirinya untuk bisa berkembang hingga saat ini. Karena itu, Slamet membagikan motivasinya kepada penonton Kick Andy dan kaum disabilitas lain agar tidak memandang diri sebagai pribadi yang cacat.
"Saya tidak pernah anggap diri saya cacat, bukan karena saya yang tidak mampu, melainkan fasilitas yang tidak ramah. Semua orang itu memiliki hal unik dan berbeda-beda, pun dengan penyandang disabilitas sehingga harus saling menghargai dan memberikan kesempatan yang sama," tukas anak bapak yang bekerja sebagai guru mengaji ini.
Slamet pun rajin mengadakan seminar dan workshop. Ada 38 poin titik perhatian yang dikeluarkan dari kegiatan tersebut, seperti makruh hukumnya memberi upah kecil kepada penyandang disabilitas, haram hukumnya bank menolak pinjaman semata karena dia penyandang disabilitas, haram hukumnya mengemis dengan memanfaatkan kondisi disabilitasnya, pun dengan muslim tunanetra boleh menggunakan anjing penuntun, bahkan untuk menuju tempat ibadah.
Terkait dengan agama, keputusan itu sudah didasarkan pada diskusi dengan pemuka agama setempat, mulai kiai, ustaz, hingga ulama. Sebabnya, ada salah satu persoalan yang dihadapi mereka dengan keterbatasan tidak mampu menjangkau tempat ibadah.
"Kalau membutuhkan bantuan anjing dan berguna ya tidak apa asal dengan syarat-syarat yang juga kami lampirkan," pungkasnya. (M-3)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved