Headline

Pemerintah belum memastikan reshuffle Noel.

Perusahaan Wajib Sediakan Ruang Laktasi

Indriyani Astuti
04/8/2017 03:31
Perusahaan Wajib Sediakan Ruang Laktasi
(ANTARA/Akbar Nugroho Gumay)

KURANGNYA dukungan lingkungan masih men­jadi kendala bagi para ibu dalam memberikan air susu ibu (ASI) eksklu­sif bagi bayi mereka. Terutama di tempat kerja, masih banyak per­usahaan yang tidak memiliki ruang laktasi.

Hasil survei Kementerian Kesehatan (Kemenkes) pada 2016 terhadap 338 perusahaan di 19 provinsi menunjukkan baru 64,7% yang memiliki ruang laktasi. Kondisi itu menyulitkan para ibu menyusui yang ingin memerah ASI di sela waktu be­kerja.

Padahal, pemerahan ASI seca­ra berkala sangat penting bagi ibu bekerja untuk menjaga kesinambungan produksi ASI agar pemberian ASI eksklusif (ASI saja sampai bayi berusia 6 bulan) bisa sukses.

“Diperlukan komitmen dari pimpinan perusahaan dan dukungan dari serikat pekerja un­tuk mendorong penyediaan ruang laktasi dan fasilitas pe­nyim­panan ASI perah,” ujar Dirjen Kesehatan Masyarakat Kemenkes Anung Pramono dalam temu media rangkaian peringatan Pekan ASI Sedunia 2017 di Jakarta, kemarin.

Anung menjelaskan perusahaan sejatinya wajib menyediakan ruang laktasi di tempat kerja untuk mendukung kesuksesan pemberian ASI eksklusif selama enam bulan.

“Itu tertuang dalam surat edaran Kementerian Ketenaga­kerjaan yang berkaitan dengan proses perizinan dan hal-hal yang harus dipenuhi perusahaan sesuai persyaratan Kemenkes. Na­mun, tidak ada pemberian sanksi kalau tidak menyediakan ruang laktasi,” terang Anung.

Pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 33/2012 tentang Pem­be­rian ASI Eksklusif pun telah diatur bahwa kantor pemerintah dan swasta harus mendukung program ASI eksklusif dan memberikan fasilitas ruang laktasi sehingga ibu menyusui bisa memerah ASI.

Selain minimnya ruang laktasi di tempat kerja, kendala lain­nya justru berasal dari fasilitas ke­sehatan tempat ibu melahirkan.
Menurut Anung, hampir 80% ibu hamil di Indonesia melahirkan di fasilitas kesehatan. Namun, belum semua tenaga kesehatan paham tentang program pemberian ASI eksklusif dan inisiasi menyusu dini (IMD).

“Dari pemantauan status gizi masyarakat pada 2016, baru se­kitar 51,8% para ibu yang men­jalani IMD saat melahirkan. Sementara itu, pemberian ASI eksklusif hanya 54%. Pengetahuan petugas kesehatan yang tidak di-update serta gencarnya promosi susu formula turut berpengaruh,” papar Anung.

Mengingat besarnya tantangan yang ada, lanjut Anung, Pekan ASI Sedunia tahun ini menekankan pentingnya kerja sama semua pihak mendukung program ASI eksklusif.

MPASI bermutu

Pada kesempatan sama, dokter ahli gizi Tan Shot Yen mengatakan tenaga kesehatan punya kewajiban untuk mampu membimbing para ibu agar dapat menyusui dan membuat makanan pendamping ASI (MPASI) yang bermutu sesuai dengan kearifan lokal pangan yang ada.

Dia mengimbau petugas kesehatan agar tidak menyarankan kepraktisan dalam membuat MPASI, seperti penggunaan MPASI pabrikan.

“Memberikan bubuk rasa bayam pada bayi usia enam bulan dengan harapan anak ke­lak suka makan sayur bayam ada­lah salah,” tegasnya. (H-3)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya