Headline
Koruptor mestinya dihukum seberat-beratnya.
Transisi lingkungan, transisi perilaku, dan transisi teknologi memudahkan orang berperilaku yang berisiko.
HIDUP dalam keluarga yang kekurangan secara ekonomi membuat Sukatno merasa sulit untuk bersekolah.
Gambaran tersebut kembali datang saat dirinya memutuskan untuk pindah ke Desa Bagan Limau, Kecamatan Ukui, Kabupaten Pelalawan, Riau.
Banyak anak tak bersekolah lantaran sulit akses dan sulit ekonomi.
Karena itu, dirinya membuka tempat untuk mengaji anak-anak di sore hari.
Kegiatan tersebut rupanya mengundang perhatian tokoh masyarakat setempat, yang kemudian mengumpulkan masyarakat untuk bergotong royong mendirikan sekolah dasar secara swadaya.
Sambutan baik didapat, mereka mulai bahu-membahu hingga terwujudlah bangunan sekolah dan resmi beroperasi pada 2001.
Sukatno pun menjadi salah satu pengajar untuk mata pelajaran olahraga di sekolah tersebut.
Bayarannya ketika itu dijanjikan sebesar Rp35 ribu, tetapi tak kunjung didapatnya selama empat tahun.
Meskipun begitu, ia dan istri tetap bersyukur karena terkadang ada rezeki dari orangtua murid berupa beras, gula, ataupun sayuran.
Hingga kini, statusnya masih sebagai guru honorer, tetapi tak menyurutkan keinginannya untuk bisa berbuat banyak bagi pendidikan.
Kini, Sukatno yang juga menjadi penjual satai sedang meneruskan pendidikan strata satu untuk jurusan PGSD.
Berbagai pelatihan pun gencar ia ikuti, mulai edukasi dari pemerintah maupun pelatihan dari Tanoto Foundation.
"Ya, kalau sepulang pelatihan, saya selalu bawa oleh-oleh untuk anak didik saya, ilmu pengetahuan," ujar pria yang kini mengampu tujuh mata pelajaran untuk siswa kelas 5 SD.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved