INDONESIA memiliki jumlah penduduk yang amat besar. Dengan ditambah penggunaan ponsel pintar di Tanah Air yang juga tinggi, hal itu berpotensi sebagai pasar yang besar, apalagi di gim. Namun, banyak yang tidak tahu bahwa Indonesia saat ini menduduki urutan ke-25 sebagai industri pengembang gim tingkat dunia.
Marlin Sugama yang bekerja di perusahaan pengembang Artoncode mencatat banyak ajang kompetisi pembuatan gim di tingkat internasional yang dimenangi anak bangsa.
"Kita tidak kekurangan kreativitas, yang kita perlukan ialah bantuan untuk bisa meningkat dengan jauh lebih cepat," ujarnya dalam pertemuan pengembang gim asal Indonesia dan Jerman di Kedai Tjikini, Jakarta, Kamis (5/11).
Kemafhuman atas kemampuan developer gim Indonesia itulah yang mendorong pemerintah Jerman yang industri gimnya menduduki urutan kelima di dunia, mendatangkan para pengembang gim terbaiknya ke Indonesia. Di negara asalnya, ada proyek Game Mixer yang menandingkan para pembuat gim video yang inovatif, bernilai budaya, dan edukatif. Para pemenang dan nomine ajang itulah yang didatangkan ke Indonesia, dalam rangkaian Festival Jerman. Sebagai catatan, ini pertama kalinya Game Mixer memboyong pemenangnya ke luar negeri dan Indonesia yang dipilih.
Bagi pemerintah Jerman, pembuatan gim sebagai salah satu bagian industri kreatif tidak layak dipandang sebelah mata. Pasalnya, menurut Duta Besar Republik Federal Jerman di Indonesia George Witschel, industri itu mampu menyerap sekitar 30 ribu tenaga kerja.
Di Indonesia, para pengembang gim justru lebih mempunyai pamor di luar negeri. Marlin bahkan menyatakan rata-rata pembuat gim profesional dalam negeri justru mendapat 80% penghasilannya dari proyek kerja sama dengan pengembang asing. Makanya ajang temu pembuat gim seperti yang kini diadakan di Indonesia itu bermanfaat dalam menjalin relasi dan bertukar ilmu juga pengalaman dalam mengembangkan gim. Beda negara,beda karakter Setiap negara dipastikan memiliki kondisi sosial dan ekonomi yang berbeda. Hal itu sewajarnya turut memengaruhi iklim industri pengembangan permainan digital. Hal itu seperti yang dialami sendiri oleh Bullitt Sesariza dari Asosiasi Game Indonesia (AGI), yang juga salah satu pengembang permainan digital senior di Indonesia.
Ketika pertama kali mendirikan perusahaan gim pada 2007, dia harus putar otak memikirkan permainan jenis apa yang harus ditawarkannya. "Dulu belum ada internet, saya buat permainan dengan model bisnis kerja sama dengan mal, ruang publik, dan berbagai 'brand'," jelasnya mengambil contoh ada permainan yang dibawa keliling berbagai kota dalam promosi produk es krim.
Dengan membeli es krim, pelanggan bisa bermain secara gratis. Perusahaannya kemudian berevolusi ketika pada 2009 mulai ada internet dan pengguna mobile meningkat.
Di Jerman, pertemuan pembuat gim digelar secara rutin, biasanya 3-4 kali seminggu. Selain diskusi, ada seminar juga. Itu, menurut Wolf Lang, pengembang independen asal Hamburg yang turut mendirikan Threaks, lumayan mengubah paradigma para pembuat gim.
"Dulu orang-orang sangat tertutup, takut idenya dicuri dan sebagainya, sekarang kondisinya orang mau berbagi dan itu lebih kondusif," pikirnya.
Memang kesannya mewah, apalagi mengingat pemerintah sekarang mulai menaruh perhatian terhadap mereka. "Akan tetapi, jangan lupa bahwa dulu kondisinya di Jerman pun tidak sekondusif itu. Saat banyak pengusaha yang berani berinvestasi di startup pembuatan gim, barulah pemerintah mulai melirik," ujarnya menilai pengusaha berani macam itu pula yang dibutuhkan pengembang gim Indonesia.
Stigma oleh orangtua bagi anak-anak yang kerajinan main gim tidak hanya dialami Indonesia, tapi juga di Jerman. Di Jerman malah lebih parah, sempat ada kasus penembakan oleh remaja yang mulanya diduga terkena pengaruh buruk gim.
Pembuat gim di Jerman harus berjuang meyakinkan kebiasaan main gim pada anak-anak bisa menyiapkan untuk kehidupan lebih baik. Benjamin Rostalski dari Stiftung Digitale Spielekultur menilai, saat anak sedari dini terbiasa memegang gawai, secara tidak langsung ia akan lebih adaptif terhadap teknologi dan itu bermanfaat bagi masa depannya ketika harus bekerja dan seterusnya.
Lain lagi yang dilakukan Kristin Heitmann, seorang ibu dan guru yang merasa resah karena tidak bisa menemukan permainan yang sesuai untuk anak-anaknya. Akhirnya dia membuat aplikasi permainan yang bisa digunakan sebagai media pendidikan dengan cara menyenangkan. Gim prabayarnya sekarang banyak digunakan di sekolah-sekolah Jerman dan negara lain.
Nah, tak ada alasan untuk tidak mendukung kemajuan industri gim kan. Permainan, sebagaimana segala hal di dunia, bisa berdampak buruk kalau digunakan dengan tidak bijak. (M-4)