Headline

Revisi data angka kemiskinan nasional menunggu persetujuan Presiden.

Fokus

Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.

Rasa Cinta dan Takdir Tuhan

Ahmad Novriwan
30/7/2015 00:00
Rasa Cinta dan Takdir Tuhan
(MI/Ahmad Novriwan)
SEORANG legenda tidak pernah ingin dipuji. Itulah Imron 'si Gajah Lampung' Rosadi. Memasuki enam dekade pengabdiannya, Imron terus menekuni kecintaannya pada dunia angkat besi dan angkat berat.

Hingga usianya yang ke-71 tahun, telah ratusan atlet angkat besi dan angkat berat dilahirkan dari rahim Padepokan Gajah Lampung, sebuah sasana latihan angkat besi yang dia dirikan sejak akhir 60-an.

Lelaki etnik Tionghoa bernama asli Liu Nyuk Siong ini awalnya lifter angkat besi. Selama 14 tahun, dia malang melintang di tingkat nasional dan Asia Tenggara. Dia merupakan juara SEA Games 1972 sekaligus peraih emas Kejuaraan Asia Pacific, di Melbourne, Australia, pada tahun yang sama. Selain itu, Imron enam kali terpilih sebagai lifter terbaik nasional serta sekali dinobatkan sebagai lifter terbaik ASEAN.

Paulus Rosadi, ayah Imron, ialah pedagang sukses di Pringsewu. Sang ayah menentang minat Imron terhadap angkat besi Namun, agar bisa berlatih dan menyenangkan sang ayah, Imron yang memang ingin jadi atlet, ikut berbisnis. Di usia 20 tahun, dia melanglang buana ke Bandung, Semarang, Surabaya, dan banyak kota lain untuk berbisnis kendaraan bekas.

Sejauh-jauh Imron "terbang", akhirnya ia pulang kandang. Pasar Bambu Kuning, Tanjungkarang, Lampung, menjadi bagian tidak terpisahkan dari perjalanan suksesnya.

Pada 1959, ia sudah membuka usaha jual beli kendaraan bekas di tengah Kota Tanjungkarang yang saat itu memang sudah menjadi urat nadi perekonomian kota. Kebetulan kekasihnya yang kemudian menjadi istrinya, Yuniarti yang memiliki nama asli Wong Moy Jun, juga tinggal di pasar itu bersama orangtuanya yang berprofesi sebagai pedagang.

Ternyata, bukan hanya kecantikan Yuniarti yang memikat hati Imron. Tepat di seberang toko orangtua kekasihnya, terdapat sebuah tempat latihan angkat besi yang dikelola Khu Wei Yang, seorang Tionghoa asal Yogyakarta yang datang ke Lampung untuk membuka kebun teh.

Imron mencoba berlatih dan membuat Khu Wei terkesan. Khu Wei Yang memberi Imron ruang seluas-luasnya, bahkan ia dipertemukan dengan Cen Cing Tai, mantan juara dunia angkat besi asal Tiongkok. Ini menjadi awal prestasi demi prestasi Imron di arena angkat besi hingga akhirnya pensiun sebagai atlet pada 1979 dan melanjutkan karier sebagai pelatih.

Di tangan Imron-lah pencapaian Lampung dipertaruhkan. Hampir tiga dasawarsa, angkat besi dan berat menjadi tumpuan utama Lampung setiap PON hingga bisa menjadi daerah terbaik cabang olahraga tersebut.

Sikapnya yang tegas dan menjunjung tinggi disiplin membawa Imron bak Raja Midas, memiliki sentuhan tangan ajaib. Imron membentuk seorang atlet sejak usia belia yang dilatih secara serius. Nyaris seluruh atlet yang dibinanya berasal dari masyarakat lingkungan tempat tinggalnya. Ia bukan hanya memosisikan diri sebagai pelatih, melainkan juga merangkap manajer yang brilian, bahkan seorang ayah bagi anak didiknya.

Ia rela merogoh kantong sendiri hingga puluhan juta rupiah sebulan untuk membina angkat besi. Imron tidak pernah memungut bayaran dari kegiatannya melatih. Namun, Imron pernah berkeinginan ingin berhenti total mengurusi angkat besi/berat.

Padepokan Gajah Lampung akan ia tutup karena ia tidak membolehkan anak-anaknya meneruskan, termasuk Edi Santoso yang selama ini mendampinginya sebagai pelatih.

"Kita lihat sajalah nanti. Mudah-mudahan rasa cinta ini tidak akan pernah pudar, mukjizat selalu menyertai langkah saya. Saya hanya bisa mengikuti takdir Tuhan," ujarnya.(NV/M-6)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Admin
Berita Lainnya