04/5/2017 21:00

Geolog UGM Ekspedisi Empat Bulan ke Antartika

Zen

GEOLOG Universitas Gadjah Mada (UGM) Nugroho Imam Setiawan telah kembali dari ekspedisi penelitian di Antartika selama 4 bulan. Ekspedisi yang diselesaikan pada 22 Maret 2017 itu bukan hanya membanggakan Nugroho, melainkan juga Indonesia.

Nugroho ini menjadi satu-satunya wakil Indonesia dalam ekspedisi misi Japan Antarctic Research Expedition (JARE) ke-58 tersebut.

Misi JARE tahun ini memang untuk mengenalkan kepada negara-negara di Asia yang belum memiliki stasiun penelitian dan belum aktif dalam penelitian di Antartika. Nugroho memfokuskan penelitiannya pada bidang geologi keahliannya, yakni batuan metamorf. Ditemui di ruangannya di Laboratorium Geologi Optik, Departemen Geologi, Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada, Rabu (19/4) siang, Nugroho menceritakan pengalamannya dari ekspedisi tersebut dan misi selanjutnya di Indonesia.

Bagaimana rasanya hidup empat bulan di Antartika?

Perbedaan yang mencolok ialah tidak ada malam, 24 jam (seperti) siang. Suhu rata-rata juga hanya nol derajat celsius, kadang-kadang saja siang hari +5 derajat celsius. Kami jadi tidak bisa mandi karena airnya terlalu dingin. Selain itu kami memang tidak bisa menggunakan larutan kimia seperti sampo atau sabun karena nanti mencemari lingkungan di Antartika.

Peraturan di Antartika memang ketat. Jejak aktivitas manusia diusahakan seminimal mungkin. Ketika buang air besar, misalnya, fesesnya harus kita bawa pulang. Kalau meninggalkan feses di Antartika, bakteri pengurai tidak bisa hidup karena suhunya terlalu dingin. Jadi feses tidak bisa terurai. Jadi, kami buang air besar itu di tong kemudian dilapisi dengan plastik. Setelah plastik penuh akan dikumpulkan dan dibakar, lalu abu pembakaran feses tadi dibawa ke Jepang. Bau fesesnya sendiri tidak tercium karena tidak ada bakteri itu.

Soal etos kerja, adakah terasa yang sangat berbeda?

Tiap hari rute yang kami tempuh sekitar 5-10 kilometer. Yang saya rasakan, etos kerja tidak jauh berbeda. Namun, disiplin yang agak sedikit berbeda. Di Antartika kami punya istilah 5 menit sebelum mulai. Jadi, kalau ada pertemuan jam 10, maksimal jam 09.55 kami harus sudah siap. Karena disiplin tersebut dan penjadwalan yang strict terhadap waktu, semuanya hampir tidak pernah ada masalah.

Selain itu, peralatan yang canggih membuat segalanya menjadi lebih mudah. Jepang memiliki mesin untuk mendeteksi cuaca. Itu berfungsi sangat optimal ketika kami ekspedisi di Antartika. Segala keputusaan (kegiatan ekspedisi) didasarkan cuaca.

Bisa dijelaskan dengan lebih detail mengapa mengambil fokus pada penelitian pada batuan metamorf?

Batuan Metamorf adalah batuan ubahan akibat perubahan suhu dan tekanan di permukaan bumi dari semua tipe batuan yang ada, yaitu batuan beku, batuan sedimen, maupun dari metamorf itu sendiri. Batuan metamorf sifatnya seperti fosil, hanya saja batuan metamorf tidak (berasal dari) organik.

Dari memperlajari batuan metamorf, kita dapat mengetahui proses yang terjadi di permukaan bumi. Kita melihat fakta-fakta atau bukti-bukti dengan mempelajari mineral pada batuan metamorf. Apakah terjadi regangan, tumbukan, atau penunjaman? Semua tersaji di sana. Semua terekam dalam batuan metamorf. Yang perlu kita lakukan ialah kita perlu melihat, membaca dengan detail apa yang terjadi pada mineral-mineral pada batuan metamorf. Dari situ, kita bisa membahasakannya dalam evolusi bumi. Dengan mengetahui suhu, tekanan, dan umur pada batuan metamorf diharapkan dapat mengetahui proses metamorfisme yang membentuk batuan tersebut sehingga kami dapat memahami bagaimana bumi pada waktu itu terbentuk.

Apa hasil awal dari ekspedisi tersebut?

Salah satu hipotesis penelitian itu ialah Sri Lanka memiliki batuan metamorf yang sama yang juga dijumpai di Antartika. Sekarang ternyata posisinya sudah jauh, antara Sri Lanka dan Antartika. Ada proses yang menyebabkan Sri Lanka berpisah dengan Antartika. Kami mempelajari hal tersebut, (yaitu) kesamaan-kesamaan lokasi satu dengan lokasi lain dan merekonstruksi kondisi geologi di daerah sana.

Kalau misi penelitian Anda sendiri apa?

Saya mencoba mencari kemungkinan kehadiran batuan metamorf yang ada di Antartika juga hadir di Indonesia. Kita memiliki kemungkinan-kemungkinan itu, kemungkinan terdapat di Sumatra atau di daerah-daerah lain. Batuan metamorf yang saya koleksi atau saya bawa dari Antartika akan saya teliti. Lalu, kemudian saya coba melihat kemiripan dengan batuan metamorf yang seumur, yang kita jumpai di Indonesia. Kalau ada kesamaan, saya akan coba merekonstruksi, (menjawab pertanyaan) bagaimana dulunya kondisi geologi yang menyebabkan batuan yang sama ini melintas atau bergerak dari Antartika menuju Indonesia. Prosesnya seperti apa? Apakah ada tumbukan? Apakah ada regangan? Apakah ada kerak yang saling menunjam dan lain-lain?

Bagaimana awal ketertarikan terhadap ilmu geologi?

Pada waktu SMA saya menyukai kegiatan pecinta alam. Pada waktu itu saya berpikir, saya kuliah kalau bisa di jurusan yang bisa menyalurkan hobi saya. Hobi saya ialah kegiatan lapangan danan ternyata saya senang dengan geologi. Spesialisasi saya sekarang di batuan metamorf.

Sepertinya ahli batuan metamorf di Indonesia masih jarang, tetapi mengapa Anda setia di bidang ini?

Batuan metamorf ini sifatnya lebih ke ilmu pengetahuan murni. Ilmu bumi murni ini mungkin belum banyak diminati di Indonesia dan ahlinya juga belum banyak. Sebagian besar ilmu geologi yang ada di Indonesia ini geologi terapan, (misalnya) untuk mencari minyak bumi, untuk mencari bahan tambang, energi panas bumi, dan yang lain-lain.

Aplikasi batuan metamorf kadang tidak bisa langsung teraplikasi dengan baik untuk di bidang ekonomis. Tidak seperti batuan sedimen, kalau dia porus (lubang) atau permeable (lulus air) bisa membawa minyak bumi. Atau, batuan beku yang membawa Alterasi Hidrotermal (proses geologi yang disebabkan interaksi batuan dan larutan hidrotermal), dia bisa membawa emas. Namun, batuan metamorf ini memberikan infrormasi, begini lo kondisi bumi, kenapa (bumi) kita bisa berubah. Contohnya, Jawa Tengah dulu dengan Kalimantan Selatan dan Sulawesi Selatan dulunya jadi satu, tetapi sekarang sudah terpisah.

Apa harapan dari penelitian ini?

Harapan saya, ekspedisi ini juga membawa hasil bahwa sumber daya manusia Indonesia mampu bekerja bersama peneliti negara maju. Yang belum kita punyai hanyalah fasilitas untuk menuju ke sana (Antartika).

Soal penelitian, ada banyak riset yang bisa kita kembangkan dengan penelitian di Antartika. Indonesia bisa fokus untuk memulai penelitian rutin di Antartika terutama di bisang kelautannya. Apabila ada perubahan kondisi laut, kita bisa mengantisipasi dampaknya di Indonesia. Dengan adanya global warming, banyak gletser yang mulai meleleh. Itu akan memengaruhi biota laut, memengaruhi ekosistem, dan menambah elevasi muka air laut sehingga berdampak pada Indonesia sebagai negara kepulauan. (Ardi Teristi Hardi/M-3)

Baca Juga

Video Lainnya