PENYELEWENGAN penggunaan ruang digital semakin mengkhawatirkan ketika kontennya mulai menyentuh ranah yang sangat sensitif dan merusak nilai-nilai sosial, seperti perjudian online (judol), eksploitasi seksual, dan penyebaran fantasi seks sedarah (incest). Platform digital yang seharusnya menjadi ruang edukatif dan informatif justru dibanjiri oleh konten-konten yang mengandung unsur pornografi, kekerasan seksual, hingga promosi praktik yang menyimpang secara moral maupun hukum. Baru-baru ini, marak unggahan cerita atau konten fiksi bertema fantasi seks sedarah di media sosial dan platform penulisan daring, yang meski dikemas sebagai "cerita fiksi", tetap menormalisasi dan mengaburkan batas etika serta hukum. Fenomena ini menunjukkan bagaimana ruang digital bisa menjadi sarang subversi nilai bila tidak diawasi dengan baik.

Lebih parah lagi, tren seperti judol dan eksploitasi seksual di ruang digital sering kali didorong oleh algoritma platform yang memprioritaskan konten viral, tanpa mempertimbangkan dampak sosialnya. Anak-anak dan remaja sebagai pengguna aktif media digital menjadi kelompok paling rentan terhadap paparan konten menyimpang tersebut. Ketika penyimpangan seksual seperti fantasi incest diperlakukan seolah hal biasa dan diperbincangkan bebas tanpa filter, kita dihadapkan pada ancaman serius terhadap tatanan moral masyarakat. Oleh karena itu, penguatan literasi digital, penegakan regulasi konten secara ketat, serta keterlibatan aktif keluarga dan institusi pendidikan menjadi sangat penting untuk menanggulangi dampak negatif dari kebebasan tanpa batas di ruang digital.