Headline
Setelah melakoni tenis dan olahraga di gym, aktor Christoffer Nelwan kini juga kerajingan padel.
Setelah melakoni tenis dan olahraga di gym, aktor Christoffer Nelwan kini juga kerajingan padel.
Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.
KITA membangun infrastruktur seperti tol, tol laut, perkeretaapian, khususnya light rail transit (LRT) dan mass rapid transit (MRT) ialah sarana membangun peradaban baru. Demikian Presiden Joko Widodo di depan Sidang Tahunan MPR RI memperingati kemerdekaan ke-72 RI, 16 Agustus 2018.
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mengartikan ‘peradaban’ sebagai kemajuan (kecerdasan, kebudayaan lahir dan batin) serta menyangkut nilai moral, sopan santun, budi bahasa, dan kebudayaan suatu bangsa. Pertanyaannya, adakah hubungan secara fungsional dan batin antara infrastruktur dan peradaban baru serta bagaimana wujudnya?
Kualitas dan disiplin
Jawabannya, pasti ada hubungan, baik secara fungsional maupun berkaitan dengan kejiwaan atau penerimaan batiniah. Hal itu karena peradaban baru berkaitan dengan perubahan kesadaran, cara pandang, dan perilaku yang menjadi dampak dari pemanfaatan infrastruktur dasar maupun transportasi seperti LRT dan MRT itu.
Seperti apa wujudnya? Kesadaran baru akan berdampak pada perbaikan kualitas pelayanan/pekerjaan serta disiplin diri yang makin baik.
Artinya, setiap pengguna LRT dan MRT dengan sendirinya menjadi bagian sistem, baik dalam penggunaan waktu (schedule) perjalanan kereta secara tetap (terjadwal) maupun urusan lain seperti pembayaran secara online, budaya antre, kewajiban menjaga ketertiban dan kebersihan, serta turut bertanggung jawab atas keutuhan sarana publik yang dibiayai APBN atau kerja sama swasta. Selama pengguna transportasi perkotaan (LRT dan MRT) itu sadar bahwa dirinya sudah menjadi bagian dari sistem, maka perlahan peradaban baru pun terbentuk.
Sesungguhnya, dalam dunia transportasi perkotaan, LRT bukanlah sama sekali baru. LRT yang digagas H Dean Quinby pada 1962 ialah penamaan baru dari apa yang di Amerika Utara (Kanada) sudah dikenal sejak 1972, yang mereka namakan lintas rel terpadu (LRT), dengan model kereta trem.
Trem menggunakan low floor LRT untuk memudahkan naik-turun penumpang. Namun, yang diterapkan di RI kini agak berbeda karena high floor LRT yang beroperasi dengan menggunakan tiang penyangga yang cukup tinggi.
Sebagai fasilitas koridor perkotaan utama, instrumen peradaban baru yang ditimbulkannya, antara lain memiliki kapasitas angkut lebih besar, banyak pintu yang memudahkan mobilitas penumpang. Lalu, memiliki sistem persinyalan sendiri seperti kereta api jarak jauh, dengan perlintasan tak sebidang (diangkat).
Penghitungan waktu operasional pasti lebih cepat, lebih efisien, lebih nyaman, dan jaminan keselamatan yang juga menjadi keniscayaan.
Demikian halnya MRT dengan perubahan dan fungsi yang sama. MRT Jakarta rencananya mulai beroperasi Maret 2019.
Proyek mercusuar yang sudah diprogramkan belasan tahun lalu itu, baru gencar dibangun saat Jokowi dan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) masih menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta. Kedua proyek mercusuar itu menelan biaya sekitar Rp34 triliun. Kalau LRT menggunakan tiang penyangga di ketinggian, MRT sebaliknya menggunakan terowongan dengan stasiun-stasiun bawah tanah. Semua membawa perubahan peradaban baru, peradaban milenial.
Dari jumlah penumpang terangkut, MRT akan jauh lebih menjadi alat transportasi standar untuk mobilitas penduduk Jakarta yang terkenal sebagai salah satu kota terpadat di Asia.
Tantangannya, bagaimana regulasi dan pengawasannya agar setiap pengguna memiliki kesadaran, disiplin diri, serta kewaspadaan terhadap aneka ancaman sabotase para mafia terutama gangguan terorisme. Kita harus bagaimana?
Arah transformasi peradaban
Leo Tolstoy (Schopenhauer, 1996) melukiskan perubahan perilaku berupa harmoni hubungan antarmanusia (humanitas) dan lingkungan dengan menyatakan ‘sepertinya kita ialah makhluk terpisah, tetapi dalam kehidupan batin kita terhubung dengan semua mahluk hidup’.
Tolstoy dan kita sadar, setiap individu ialah mahluk otonom sekaligus mahluk sosial. Sebagai sesama mahluk sosial, keterhubungan tidak hanya soal fisik seperti tersedianya jalan (tol), jembatan, pelabuhan, dan bandara, tetapi juga berdimensi pada keterhubungan batin dengan solidaritas, gotong royong, kerja sama, dan optimisme.
Kekuatan perubahan itu tidak dibangun dengan instan, tetapi dengan bantuan kebudayaan dan teknologi. Salah satu wujud teknologi itu ialah infrastruktur dasar berupa jalan, jembatan dengan segala jenis dan konstruksi penerapan teknologi.
Selain itu, infrastruktur transportasi dengan prasarana seperti terminal, pelabuhan, stasiun, bandara juga sebagai penggerak pembaruan peradaban. Berkat peradaban transportasi baik berbasis roda, rel, kapal, maupun pesawat, transformasi kesadaran konektivitas itu makin niscaya di era pemerintahan Presiden Jokowi.
Realnya, transformasi peradaban muncul sebagai perubahan paradigma dari koridor ekonomi berbasis daratan menjadi koridor berbasis udara dan maritim. Perubahan lain dari koridor ekonomi yang menguatkan ekonomi eksisting dan menarik wilayah sekitarnya, menjadi koridor ekonomi untuk terciptanya pusat-pusat pertumbuhan baru dan pemerataan ekonomi di seluruh Nusantara.
Dengan demikian, istilah kawasan barat dan timur Indonesia beralih menjadi wilayah depan dan wilayah dalam Indonesia. Maka dari itu, konsep NKRI sebagai archipelago (pulau-pulau yang dipisahkan perairan), menjadi NKRI ialah a piece of land atau potongan daratan/pulau yang saling terhubungkan perairan menjadi satu kesatuan.
Jelaslah bahwa makna konektivitas tidak sekadar keterhubungan secara fisik, tetapi juga secara batin. Kepuasan hubungan dan keterpenuhan kebutuhan dasar manusia, dorongan untuk maju yang semakin besar, selalu berpikir positif dan optimistis, menimbulkan kreativitas baru menyambut e-marketing dalam apa yang sekarang dipopulerkan sebagai ‘startup dan unicorn’ Indonesia.
Go-Jek, Traveloka, Bukalapak, dan Tokopedia ialah empat dari tujuh startup dan unicorn Asia yang ada di Indonesia. Apa kaitan dengan peradaban baru sebagai dampak transportasi seperti LRT dan MRT? Dampaknya tidak lain ialah lompatan perubahan SDM.
Maka dari itu, LRT dan MRT ialah sarana pengembangan diri. Tidak berhenti pada kemudahan mobilitas, tetapi dampak multichannel dari kemajuan teknologi transportasi dan komunikasi dengan budaya internetisme. Internetisme membuka jendela baru bagi peradaban ilmu pengetahuan, teknologi, budaya kerja, kerja sama/jejaring, visioner yang teguh dalam NKRI di bawah Pancasila dan UUD 1945. Semoga saja.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved