Headline
Tingkat kemiskinan versi Bank Dunia semakin menjauh dari penghitungan pemerintah.
Tingkat kemiskinan versi Bank Dunia semakin menjauh dari penghitungan pemerintah.
Perluasan areal preservasi diikuti dengan keharusan bagi setiap pemegang hak untuk melepaskan hak atas tanah mereka.
BAGAIMANA kita bisa membandingkan kicauan burung di hutan dengan celotehan politisi di pasar politik Indonesia saat ini? Jawabannya terletak pada esensi dan tujuan akhir kicauan itu. Jika kicauan burung memiliki esensi kedamaian dan ketenangan, kicauan politisi sebaliknya, cenderung beresensi keramaian dan keributan. Dari aspek tujuan akhir, suara burung diproduksi tanpa dilandasi kepentingan tertentu. Hal ini berbanding terbalik dengan kicauan politisi. Semua yang keluar dari mulut politisi bermakna ganda. Suara politisi berwajah banyak. Amat multitafsir karena suara politisi jarang konsisten dan disertai banyak kepentingan.
Dalam banyak kasus, suara-suara yang keluar dari mulut politisi justru berseberangan dengan praktik di lapangan. Ketidakjujuran akhirnya menjadi ciri utama. Karena tidak jujur, politisi dalam batas tertentu memproduksi beragam hipokrisi. Mesin produksi hipokrisi memproduksi beragam ketidakjujuran. Ada proses siklus dan berulang berujung pada ketidakpercayaan publik tidak saja kepada politik, tetapi terutama kepada politisi. Anehnya, dalam ragam politik RI, politisi kadang dan kerap bertindak sebagai penjaga pengetahuan politik. Politik memproduksi pengetahuan dan pengetahuan memproduksi politisi. Akibatnya, otoritas yang memproduksi politik dan kebijakan politik tidak lagi berada di kepala para profesor di kampus, tetapi di pasar politik.
Tulisan ini ingin mewanti-wanti para pegiat politik, politisi, dan aktor politik di republik ini. Tesis dasarnya, jika ingin mengembalikan citra politik sebagai medan perumusan kebijakan prorakyat dan bukan sekadar mencari kekuasaan, jagalah asa dan rawatlah rasa rakyat.
Hipokrisi politik
Dalam Political Hypocrisy: The Mask of Power, From Hobbes to Orwell and Beyond, David Runciman (2008) menulis dengan amat jitu tentang fenomena kemunafikan di ruang politik liberal saat ini. Menurut Runciman, meski tidak menarik, fenomena kemunafikan menjadi ciri utama praktik politik di semua level. Meski sulit diidentifikasi, kemunafikan selalu muncul dan tampak dalam banyak bentuk. Telah banyak ahli mendiskusikan kemunafikan. Runciman mencatat orang sekaliber Thomas Hobbes sampai George Orwell pernah mendiskusikan masalah ini. Pemikiran semua ahli sampai pada suatu kesimpulan bahwa hipokrit ada dan berimplikasi buruk bagi perkembangan politik. Runciman mengatakan salah satu gejala yang tampak jelas di ruang liberalisasi politik sekarang ini ialah politik hipokrit. Di sana, politisi akan menggunakan topeng politik untuk menyembunyikan wajah asli.
Topeng politik sama dengan panggung depan sebagaimana dijelaskan Goffman. Hipokrisi politik ditunjukkan dalam beberapa bentuk, misalnya kampanye hitam, bualan politik, gap antara kata dan tindak selama ini. Antara yang diucapkan sekarang dan yang akan dilakukan nanti, dan topeng dengan manusia asli di belakang topeng. Tujuannya ialah agar politisi mendapatkan popularitas dan elektabilitas politik. Kekuasaan adalah muara akhirnya.
Karena realitasnya demikian, Catherine Weaver (2008) menyebut jebakan hipokrisi untuk menjelaskan maraknya fenomena kemunafikan di masyarakat. Dalam Hypocrisy Trap: The World Bank and The Poverty of Reform, Weaver mengatakan hipokrisi muncul ketika yang disampaikan di mulut berbeda dan bertolak belakang dengan praktiknya di masyarakat.
Yang menjadi fokus jebakan ialah ketika sistem internal ideologi, nilai, norma, dan cara menafsirkan dunia dibuat dan sebisa mungkin dibuat kabur oleh banyak pihak. Tujuannya agar orang tersebut dapat dianggap sebagai manusia super dengan beragam status dan perannya di masyarakat.
Bahasa menjadi hal penting yang harus diperiksa di sini. Sebab, setiap pengungkapan maksud dan tujuan oleh pembicara selalu disampaikan melalui media bahasa. Berkaitan dengan bahasa, analisis Dhakidae (2003) perlu disampaikan di sini. Oleh rezim politik Orde Baru, bahasa sedemikian rupa dipakai untuk tujuan kekuasaan. Di sana, eufemisme bahasa sedapat mungkin dipakai untuk membungkus dan memoles setiap praktik politik otoritarianisme Orde Baru. Media menjadi objek pertama yang dipakai Orde Baru dalam struktur mekanisme manipulasi.
Dalam praktiknya, bahasa yang benar ialah yang keluar dari mulut pemerintah dan negara. Implikasi praktisnya, apa pun yang dikerjakan pemerintah Orde Baru, meski sakit sekalipun, tetap dianggap baik dan benar. Lembaga politik kemudian menjadi produsen wacana yang nanti disebarluaskan ke masyarakat.
Janji politik
Indonesia memasuki tahun politik. Pada 2018, akan digelar pilkada serentak di 171 daerah (provinsi dan kabupaten). Setahun kemudian, Indonesia melaksanakan pesta demokrasi, pemilihan umum secara nasional. Satu fenomena pasti dan tetap di pasar politik nasional adalah obral janji. Janji merupakan produk rezim politik yang siap berkontestasi.
Realitas keanehan di ruang politik lokal dan nasional bisa dilihat dalam beberapa gejala berikut. Pertama, semua calon nyaris lebih banyak menunjukkan dirinya sendiri daripada menunjukkan jalan, jembatan, air minum, rumah, gedung sekolah, dan fasilitas kesehatan yang rusak. Hipokrisi mulai dari sini, yakni ketika calon pemimpin lebih sering menonjolkan diri daripada menunjukkan hal baik yang telah dan akan dilakukan di masyarakat.
Kedua, di ranah hipokrisi, janji muluk sering disampaikan para calon. Sederhananya, semua calon menjadi seperti malaikat dari surga yang bisa menolong dan menyelamatkan masyarakat. Manusiawi memang. Sebab, tidak ada orang yang membawa kepalanya ke tempat pembantaian. Maka, wajah setan dan Lucifer neraka akan disembunyikan di balik topeng politik seperti diterangkan Runciman di atas. Di level itu, pasar politik akan digunakan seefektif mungkin. Kampanye hitam jelas menghiasi perjalanan para calon menunju singgasana kekuasaan. Itu harus diakui. Politik uang dengan semua variannya akan mengikuti para calon.
Perilaku politik demikian hanya dapat dimengerti sejauh memahami kekuasaan dan minus moral sekaligus. Harus dijelaskan bahwa setiap manusia memang memiliki hasrat berkuasa. Soal utamanya, untuk mencapai dan memenuhi hasrat itu, manusia politik dapat menghalalkan semua cara untuk mendapatkan kekuasaan. Maka, bisa dipahami mengapa agama, adat, budaya, dan lain-lain dianggap lalu dipakai sebagai sumber daya politik. Padahal, sumber daya itu tidak hanya dimiliki politisi. Masyarakat atau konstituen adalah pemilik sah berbagai aset itu. Sampai di level itu, terjadi hiperrealitas dan hipokrisi politik.
Faktanya, di ruang politik, politisi dan elite kekuasaan segera mengelabui dan memanipulasi kesadaran masyarakat untuk diubah menjadi rombongan politik semata. Politik sebagai seni untuk menipu mendapatkan kepenuhan di sini. Jadi, bukan soal strategi pengambilan kebijakan penting untuk kemaslahatan bersama sebagaimana esensi asali politik.
Jika terjadi demikian, masyarakat harus segera sadar dan disadarkan untuk terus menumbuhkan sikap kritis dan perilaku taktis. Kritis untuk terus menggonggong dan memeriksa rekam jejak para calon. Taktis untuk menyiasati semua hal yang bakal terjadi pada saat pemilihan nanti. Tugas semua elemen progresif untuk mengingatkan tidak hanya politisi tetapi juga warga bangsa. Jika tidak, hipokrisi politik akan terus membayangi ruang politik lokal dan nasional kita. Itulah makna menjaga asa merawat rasa.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved