Headline

Setelah melakoni tenis dan olahraga di gym, aktor Christoffer Nelwan kini juga kerajingan padel.

Fokus

Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.

Menjual Impian Sepak Bola untuk Remaja Afrika

Adiyanto
17/5/2018 00:14
Menjual Impian Sepak Bola untuk Remaja Afrika
(AFP)

SEPERTI ribuan remaja di Mali lainnya yang gila bola, Aboubacar Sidibe bermimpi suatu saat bisa bermain di Chelsea. Klub yang bermarkas di Stamford Bridge, London itu merupakan salah satu klub elite di Inggris dan juga Eropa.

Maka, begitu ada orang yang menawarinya main di India, remaja berusia 17 tahun itu pun menyambutnya. Sibide menganggap itulah peluang sekaligus batu loncatan untuk mewujudkan impiannya. Tidak peduli usianya masih tergolong belia atau harus membayar 2.700 pound sterling, yang penting dirinya bisa merumput di luar negeri.

Seminggu setelahnya, Sibide memang bisa main bola di luar luar kampung halamannya, namun masih jauh dari Stamford Bridge. Dia hanya bisa bermain di lapangan berdebu di suatu negara yang selama ini belum pernah didengarnya, Nepal.

"Ketika saya datang si manajer selalu berkelit. Dia bilang, it's ok. Tapi itu jelas tidak oke. Saya benci dia. Dia telah menipuku,'' ujar Sibide seperti dikutip Guardian, Rabu (16/5).

Menempati peringkat 162 dari 207 negara dalam ranking FIFA, Nepal jelas bukan tempat ideal bagi calon pesepakbola yang ingin karier dan rejekinya moncer. Namun, kemudahan memperoleh visa, membuat banyak remaja dari Afrika barat menjajal peruntungan di negara di kaki pegunungan Himalaya tersebut. Mereka berharap, Nepal menjadi langkah awal untuk meniti karier internasional.

Mereka berbondong eksodus bersama ribuan pesepak bola Afrika lainnya, yang umumnya remaja seperti Sibide, mengejar impian menjadi pemain dunia profesional. Pada 2017, lebih dari 100 orang warga Mali, Pantai Gading, Burkina faso, Guinea, Benin dan Togo, memasuki Nepal. Beberapa di antara mereka membayar dengan cara mereka sendiri, tetapi sebagian besar - lainnya (hingga 80%), menurut para pemain, membayar hingga ribuan dolar melalui jaringan agen di Afrika dan Nepal. Mereka dijanjikan kesempatan untuk bermain di liga sepak bola Nepal. 

Pada saat datang, mereka baru sadar telah dibohongi. Sebab, tak ada denyut sepak bola di Nepal. Pertama lantaran gempa bumi yang meluluh lantakkan negeri itu, termasuk stadion utama, pada 2015. Selain itu, problem salah urus dalam kompetisi dan seringnya faksi yang berbeda dalam Asosiasi Sepak bola Seluruh Nepal (ANFA), berselisih. 

“Kami sepenuhnya sadar banyak orang Afrika datang ke sini. Jika klub Nepal mengundang orang asing mereka harus mengikuti aturan; menerbitkan sertifikat transfer internasional dan mengatur visa yang berlaku,” kata Indra Man Tuladhar, sekretaris umum ANFA.

Tetapi, sebagian besar orang Afrika di Nepal tidak memiliki undangan dan tidak ada klub. Setelah beberapa bulan berlalu, Sidibe pun akhirnya menyerah pergi ke tempat latihan sepak bola. Sebaliknya, ia menghabiskan hari-harinya dengan menonton pertandingan Liga Premier melalui telepon genggamnya, di sebuah ruang bawah tanah yang dingin di pinggiran selatan Kathmandu. Impiannya untuk menjadi seperti Didier Drogba, tampaknya mesti ditunda dulu, bahkan mungkin untuk selamanya. (E-2)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Adiyanto
Berita Lainnya