Headline

Serangan Israel ke Iran menghantam banyak sasaran, termasuk fasilitas nuklir dan militer.

Fokus

Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.

Masih Ada Soal di Perbatasan

Victor Ratu
14/12/2016 00:15
Masih Ada Soal di Perbatasan
(MI/VICTOR RATU)

WARGA perbatasan di Kalimantan sudah biasa berujar, "Dada kami Indonesia, perut kami Malaysia." Kalimat yang sama juga sering diucapkan warga Long Ampung, di Kecamatan Kayan Selatan, dan Long Nawang, Kayan Hulu, di Kabupaten Malinau, Kalimatan Utara. Karena berbatasan dengan Serawak, Malaysia, warga Long Nawang sudah bertahun-tahun bergantung pada keberadaan kamp Tapak Mega, perusahaan pengolahan hasil hutan milik pemerintah Malaysia. Cukup 2 jam, warga bisa membeli kebutuhan pokok di toko milik perusahaan itu.

Jerih itu tentu tidak sebanding jika harus berbelanja di wilayah Indonesia. Kota terdekat ialah Kutai Barat atau Mahakam Ulu, Kalimantan Timur, yang harus ditempuh selama dua hari. Kesulitan itu mulai berkurang ketika pada 2012 lalu, Pemerintah Kabupaten Malinau membangun jalan tanah selebar 12-14 meter. Selain menjadi penghubung antarkecamatan, Kutai Barat pun lebih mudah ditempuh. Dalam kondisi normal, perjalanan ke sana bisa diperpendek menjadi 12 jam.

Hanya saja, untuk menjangkau ibu kota Kabupaten Malinau juga tidak lebih mudah. Selain jaraknya yang mencapai 444 kilometer, tidak ada jalan darat langsung ke sana. Warga di dua desa itu harus memilih menggunakan pesawat udara. Di Long Nawang dan Long Ampung sudah berdiri dua bandar udara perintis. Pesawat kecil melayani mereka. Tarifnya mencapai Rp1 juta dan khusus bagi warga lokal, setengahnya disubsidi pemerintah kabupaten.

Rusak berat
Pekan lalu, Media Indonesia menelusuri jalan antarkecamatan yang menghubungkan tiga kecamatan di wilayah Apau Kayan, Kabupaten Malinau, itu, yakni Kecamatan Kayan Hulu, Kayan Selatan, dan Sungai Boh. Di musim penghujan, meski lebar, jalan tanah itu menjadi berlumpur. Sulit memilih jalan yang bagus. Beberapa kendaraan pun harus berkutat cukup lama untuk bisa keluar dari jeratan lumpur.

"Kendaraan kerap mengalami kerusakan. Kami harus melakukan perjalanan meski berisiko tinggi," papar Akbar, 50, warga Long Nawang. Akbar biasa membeli kebutuhan bahan pokok dan bahan bakar minyak di Long Bagun, Kabupaten Mahakam Ulu, Kalimantan Timur. Dia juga biasa menginap di jalan karena kendaraannya bermasalah. Pada musim hujan, puluhan titik jalan dari Long Nawang menuju Long Bagun dalam kondisi rusak berat. Untuk menuju provinsi tetangga yang berjarak 310 kilometer itu, kendaraan harus melalui Long Ampung, Baratan, Panca Agung, dan Sungai Boh, kecamatan terdekat ke Long Bagun.

Tidak hanya jalan yang rusak berat, sejumlah jembatan yang terbuat dari kayu gelondongan juga rusak dan ambruk. Akbar mengungkapkan jika musim hujan, perjalanan menuju Long Bagun bisa menghabiskan waktu hingga dua minggu. Selain jalan yang berlumpur dan sulit dilalui, banyak sungai besar yang mengalami pasang naik atau banjir. Mobil terpaksa menunggu waktu yang tepat untuk melintasinya.

"Hanya mobil double gardan yang bisa melintas di jalan yang ada di perbatasan ini. Kalau hujan deras sungai akan banjir, jembatan jadi berbahaya untuk dilalui, dan tanah, perbukitan serta tebing harus diwaspadai," jelas Akbar. Roby Jalung, 45, yang tinggal di Desa Agung, Kecamatan Sungai Boh, juga punya pengalaman serupa. "Meski kondisi jalan rusak parah dan ekstrem, kami tetap harus membeli kebutuhan pokok ke Long Bagun atau Kota Samarinda."

Roby yang ditemui tengah beristirahat di pinggir jalan mengaku sudah tiga hari menempuh perjalanan pulang dari Samarinda menuju ke desanya. Ia beberapa kali terhadang sungai yang tengah meluap karena hujan deras. Dari desanya, Roby harus rela merogoh kocek hingga Rp6 juta untuk membeli kebutuhan pokok ke Samarinda, ibu kota Kalimantan Timur. Tidak hanya uang, tapi juga perjuangan yang melelahkan.

Kepala Desa Nawang Baru, Kecamatan Kayan Hulu, Lahang Lencau menambahkan, warganya juga harus menghadapi bahaya besar saat hendak melakukan perjalanan ke luar desa. Selain jalan yang rusak parah, ada sembilan sungai besar yang harus mereka seberangi. Untuk menuju Bandara Long Apung, warga harus menempuh perjalanan sejauh 75 kilometer. "Jika cuaca bagus, 4 jam sudah bisa sampai. Kalau hujan, bisa berlipat kali waktu yang dibutuhkan."

Kondisi jalan juga membuat warga belum menikmati harga BBM seperti di wilayah lain. Saat ini, warga sudah terbiasa dengan harga premium termurah Rp15 ribu per liter. Harga itu sudah lebih murah daripada sebelumnya. "Dulu, kami harus membeli hingga Rp35 ribu per liter dari Serawak, Malaysia. Mahal karena perjalanan yang tidak mudah," tutur Roby Jalung.

Kini, dengan membeli BBM ke Long Bagun, dia mengaku harus membayar Rp3 juta untuk 1 drum premium ukuran 200 liter. Di Malaysia, meski jaraknya lebih dekat, sekitar 20 kilometer dari Long Nawang, harganya justru lebih mahal. Dengan kesulitan transportasi itu, tak ayal warga yang kebanyakan petani tidak bisa menjual hasil bumi. Meski hasil bercocok tanam tidak habis dikonsumsi, mereka harus pasrah untuk terus menyimpannya. Nasib serupa harus mereka terima jika membudidayakan ikan air tawar.

Bangun jalan
Pada pemerintahan Presiden Joko Widodo, perbatasan mendapat perhatian besar. Andi Akbar, anggota Komisi III DPRD Kalimantan Utara, mengakui beberapa ruas jalan di perbatasan sudah menjadi prioritas Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional. "Kami berharap pemerintah menjalankan program prioritas itu dengan serius. Itu akan mengangkat kesejahteraan warga perbatasan," tambahnya.

Di Kalimantan Utara, jalan prioritas itu mencakup perbatasan Long Nawang-Long Pujungan-Long Kemuat-Langap-Malinau, jalan Mensalong-Sasipu-TauLumbis, jalan perbatasan Malinau-Punan-Long Bawan-Long Midang, dan pembangunan jalan Long Nawang-Metulang-Long Boh-batas Kalimantan Timur. "Masyarakat perbatasan sangat berharap dana puluhan miliar rupiah yang dikucurkan untuk pembangunan perbatasan, benar-benar tepat sasaran," tandas Andi.

Di lapangan, seperti diungkapkan Killa Liman, anggota DPRD Malinau, banyak kontraktor di perbatasan tidak memiliki peralatan yang mumpuni untuk mengerjakan proyek jalan. "Alat yang dikerahkan sangat terbatas sehingga tidak banyak kemajuan dalam pengerjaan jalan." Tahun ini, pemerintah pusat dan Pemerintah Provinsi Kalimantan Utara patungan mengucurkan dana Rp70 miliar untuk membangun jalan di perbatasan. "Masyarakat belum merasakan dampaknya," tandas Killa. (N-2)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Dedy P
Berita Lainnya