Headline
Revisi data angka kemiskinan nasional menunggu persetujuan Presiden.
Revisi data angka kemiskinan nasional menunggu persetujuan Presiden.
Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.
PENCAPAIAN tujuan program pemberdayaan komunitas adat terpencil (KAT) selama ini belum maksimal. Pencapaian dapat lebih baik bila ada dukungan serta kerja sama dari semua stakeholder dengan komitmen yang tinggi.
Untuk itu, pemerintah dalam hal ini Kementerian Sosial (Kemensos) harus meningkatkan koordinasi dan komitmen provinsi, kabupaten hingga tingkat desa agar menjalankan program dengan lebih efektif.
"Dalam program berikutnya, Kemensos perlu mengembangkan potensi warga KAT generasi kedua dan kaum perempuan melalui pendidikan dan keterampilan sebagai motivator dan agen perubahan di lingkungan mereka," kata Johanna Debora Imelda Ph.D, anggota tim peneliti dari Departemen Ilmu Kesejahtyeraan Sosial FISIP Universitas Indonesia (UI), di kantor Kemensos, Jakarta, Kamis (27/12).
Baca juga: ABI dan Tawa Bocah Korban Tsunami di Labuan
Debora hadir bersama peneliti lainnya, Dr Ety rahayu, Dr Indra Lestari MSi, Wisni Bantarti, MKes, dan Arif Wibowo, MHum, untuk memaparkan penelitian evaluasi hasil purna bina program pemberdayaan KAT periode 2015-2017.
Pemaparan hasil penelitian tersebut juga dihadiri Direktur Pemberdayaan KAT Harapan Lumban Gaol, staf ahli Mensos Mardjuki, dan Dirjen Pemberdayaan Sosial Pepen Nazaruddin, serta anggota tim pakar KAT.
Lebih lanjut, Debora menjelaskan, penelitian dilakukan di 10 lokasi KAT untuk mengetahui sejauh mana hasil-hasil yang telah dicapai, mengidentifikasi faktor pendukung dan penghambat dalam pelaksanaan program serta memberi rekomendasi berdasarkan hasil evaluasi.
Adapun jenis penelitian yang dipakai adalah outcome evaluation yang berfokus pada hasil purna bina program pemberdayaan KAT. Sepuluh lokasi KAT yang dimaksud, yakni di Kabupaten Sarolangun, Jambi; Kepulauan Meranti, Riau, Landak, Kalimantan Barat; Tabalong, Kalimantan Selatan, Sumbawa, NTB, Belu, NTT, Pohuwato, Gorontalo; Tojo Una-Una, Sulawesi Tengah, Kaimana, Papua Barat, dan Kabupaten Asmat, Papua.
Peneliti lain, Arif Wibowo menambahkan, hasil pemberdayaan KAT di 10 lokasi tersebut sangat bervariasi. Secara umum, lanjutnya, sudah ada upaya pemberdayaan meski belum optimal.
"Dalam hal pemenuhan hak-hak sipil belum semua (baru sebagian) warga KAT yang sudah memiliki KTP, KK, akte kelahiran dan akte nikah.Umumnya mereka lebih suka menikah secara adat saja," tambah Arif.
Sedangkan dalam pemenuhan kebutuhan dasar, lanjutnya, warga KAT sudah mendapat rumah meskipun datanya bervariasi. Misalnya, ada yang sudah mendapat fasilitas air bersih, listrik, pendidikan, tetapi sebagian lagi belum.
Integrasi warga KAT dengan nonKAT juga sudah terjalin lewat jual beli, kegiatan sosial, dan perkawinan. Namun, kadang timbul konflik, karena warga KAT mengambil hasil kebun warga di luar komunitas mereka. "Soal mata pencarian, sebagian besar masih sama dari sebelum maupun sesudah ada program pemberdayaan. Namun, di beberapa lokasi sudah ada peningkatan penghasilan," ujar Arif.
Baca juga: Pembangunan Kawasan Wisata Anyer Abaikan Aturan Tata Ruang
Di tempat yang sama Dirjen pepen Nazaruddin mengakui bahwa format program pemberdayaan KAT seringkali terjebak dalam simpton-simptonnya saja, tetapi akar permasalahanya belum terselesaikan.
"Kemensos satu-satunya yang punya KAT. Prioritas program dari kami adalah pemberdayaan SDMnya dan mempertahankan adatnya dalam koridor NKRI. Sebab itu, setiap tahun anggaran KAT dinaikkan agar pencapaian hasil maksimal," ujar pepen. (OL-6)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved