Headline

Setelah melakoni tenis dan olahraga di gym, aktor Christoffer Nelwan kini juga kerajingan padel.

Fokus

Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.

Aturan Baru BPJS Kesehatan Ditunda

Putri Rosmalia Octaviyani
27/7/2018 09:30
Aturan Baru BPJS Kesehatan Ditunda
(ANTARA FOTO/Muhammad Arif Pribadi)

BADAN Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan menyebut akan membahas kembali tiga peraturan direksi baru tentang pelayanan jaminan kesehatan yang saat ini menuai kontroversi.

"BPJS Kesehatan akan berkoordinasi dan duduk bersama kembali," kata Kepala Humas BPJS Kesehatan, Nopi Hidayat, kemarin.

Sebelumnya BPJS Kesehatan sejak 25 Juli 2018 bermaksud menerapkan implementasi Peraturan Direktur Jaminan Pelayanan Kesehatan Nomor 2 Tahun 2018 tentang Penjaminan Pelayanan Katarak dalam Program Jaminan Kesehatan, Peraturan Direktur Jaminan Pelayanan Kesehatan Nomor 3 Tahun 2018 tentang Penjaminan Pelayanan Persalinan dengan Bayi Lahir Sehat, dan Peraturan Direktur Jaminan Pelayanan Kesehatan Nomor 5 Tahun 2018 tentang Penjaminan Pelayanan Rehabilitasi Medik.

"Perlu kami tekankan bahwa dengan diimplementasikan tiga peraturan ini, bukan dalam artian ada pembatasan pelayanan kesehatan yang diberikan kepada peserta JKN-KIS. Namun, penjaminan pembiayaan BPJS Kesehatan disesuaikan dengan kemampuan keuangan BPJS Kesehatan saat ini," ujar Nopi.

Tiga aturan kontroversial itu diminta untuk ditunda setelah dilakukan rapat bersama Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia, Dewan Jaminan Sosial Nasional, Kementerian Kesehatan, BPJS Kesehatan, Persatuan Rumah Sakit Indonesia, dan asosiasi rumah sakit.

Sementara itu, anggota Dewan Jaminan Sosial Nasional, Asih Eka Putri, menyatakan tiga aturan itu tidak memiliki kekuatan hukum sehingga kebijakan dalam aturan tersebut tidak bisa dilaksanakan dan harus segera dicabut.

"Kami sudah langsung membicarakan hal ini dan meminta aturan dari direksi tersebut dicabut karena aturan itu hanya berlaku untuk internal, bukan mengatur publik. Aturan itu tidak bisa mengatur manfaat jaminan kesehatan," imbuhnya.

Kekisruhan ini, menurutnya, disebabkan oleh terus defisitnya anggaran jaminan kesehatan yang dihadapi oleh BPJS. Selain itu, revisi Perpres Jaminan Kesehatan Nasional No 12 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan Nasional hingga saat ini belum juga ditandatangani oleh Presiden Joko Widodo.

Menurut dia, pemerintah tidak boleh membiarkan kondisi ini berlarut-larut setelah sebelumnya terjadi pembatasan formularium obat beberapa waktu lalu.

"Masyarakat sangat membutuhkan jaminan kesehatan. Defisit Rp8 triliun itu kecil jika dibandingkan dengan anggaran lainnya yang bisa mencapai Rp200 triliun," tandasnya.

Memberatkan pasien

BPJS Kesehatan menegaskan bahwa penghentian penjaminan terapi obat trastuzumab tidak terkait dengan munculnya tiga aturan baru BPJS Kesehatan tersebut.

"Tidak dijaminnya obat trastuzumab sudah sesuai dengan Keputusan Dewan Pertimbangan Klinis yang menyatakan bahwa obat trastuzumab tidak memiliki dasar indikasi medis untuk digunakan bagi pasien kanker payudara metastatik walaupun dengan restriksi," ujar Nopi.

Meski keputusan itu berlaku sejak 1 April 2018, tambahnya, peserta JKN-KIS yang masih menjalani terapi obat trastuzumab dengan peresepan protokol terapi obat sebelum tanggal itu tetap akan dijamin oleh BPJS Kesehatan sampai siklus pengobatannya selesai.

Penghapusan tanggungan beberapa layanan kesehatan itu disesalkan oleh peserta BPJS Kesehatan. Meski pelayanan kesehatan lainnya, seperti kemoterapi, operasi, dan radioterapi, masih ditanggung BPJS Kesehatan, penghapusan itu tetap saja memberatkan pasien, apalagi untuk penyakit serius seperti kanker.

"Memberatkan kalau pas dapat yang mahal. Biaya satu kali kemoterapi Rp16 juta-Rp22 juta, satu paket radioterapi saat ini Rp70 juta untuk 30 kali tindakan," ungkap seorang penderita kanker yang juga peserta BPJS, Siswantini. (Sru/Ant/X-11)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Kardashian
Berita Lainnya