Headline

Tingkat kemiskinan versi Bank Dunia semakin menjauh dari penghitungan pemerintah.

Fokus

Perluasan areal preservasi diikuti dengan keharusan bagi setiap pemegang hak untuk melepaskan hak atas tanah mereka.

Sumber Irama yang tidak Kasatmata

Dzulfikri Putra Malawi
09/10/2016 09:57
Sumber Irama yang tidak Kasatmata
(MI/Atet Dwi Pramadia)

MARAKNYA musik elektronik di masyarakat Indonesia dan dunia belakangan menginspirasi Pekan Komponis Indonesia di Teater Kecil, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, 3-5 Oktober. Sejumlah komponis muda dan pembuat instrumen musik elektronik hadir di ajang yang sudah dilaksanakan sejak 1979-2014 itu.

Musikolog Citra Aryandari yang menjadi narasumber di ajang itu mengatakan musik elektronik menjadi gambaran kompleksitas relasi sosial masyarakat yang mulai mencari identitas baru di tengah permainan kekuasaan, politik, dan ideologi.

Citra pun menulis Mendobrak Nada, Menghentak Irama; Electronic Dance Music (EDM) dalam Jelajah Ruang dan Waktu yang memaparkan beberapa fenomena secara spesifik dalam beberapa karya musisi Indonesia yang membuat EDM, lalu tayangan ajang pencarian bakat musisi EDM, serta beberapa event besar bertaraf internasional yang diselenggarakan setiap tahun.

Eksperimen terhadap musik elektronik juga tak luput dari jangkauan musisi, komposer, hingga pembuat alat musik. Buktinya, Komite Dewan Kesenian Jakarta selama Juli-Agustus 2016 telah mengurasi 60 karya musik elektronik dari 52 calon peserta yang mendaftar dari berbagai kota hingga akhirnya terpilih enam komponis muda yang tampil dalam panggung eksperimental konser.

Musik elektronik seakan memiliki magnet tersendiri untuk diulik. Beragam sumber bunyi disimbolkan bentuk-bentuk alat musik tertentu dalam format fisik dan digital berskala industri ataupun ciptaan sendiri. Hal ini menjadi menarik ketika sumber bunyi yang tak kasatmata diinterpretasikan kembali oleh ide-ide filosofis.

Mereka di antaranya Fahmi Mursyid dari Bandung yang membawakan komposisi elektric tropical. Konsep elektrik menggabungkan unsur musik modern (beat hiphop, soundscape) dan alat tradisional seperti suling, minigamelan, dan kalimba. "Saya ingin mengubah pandangan orang kalau alat tradisi itu kuno. Saya lebur dengan musik elektronik," katanya seusai pertunjukan Selasa malam (3/10).

Lalu ada Hery Budiawan dari Jakarta yang menyajikan komposisi A C & H, karya yang menggambarkan fenomena alam di Indonesia yang kerap memberikan berita duka. Hery bersama enam musikus lain tampil memukau malam itu dan diganjar tepuk tangan meriah karena berhasil menyajikan komposisi yang dinamis dan unik dengan penggabungan alat musik akustik berdawai.

"Karya ini terinspirasi dari bencana alam. Bencana itu hanya dari Tuhan, tapi ada turut serta tangan manusia. Saya deskripsikan karya ini, di dalam bunyi semua akan kembali ke akustik seperti semua hidup akan kembali kepada Yang Mahakuasa," jelas Hery.

Pameran organologi
Selain komposisi, ada juga para pembuat alat musik yang mengeksplorasi bebunyian tak kasatmata dari elektronik lewat pameran organologi. Mereka di antaranya Lintang Raditya-Chaos Box (mix media- modular synthesizer), Ihsanul Fikri-Artmosf (orkestrasi memanfaatkan tumbuhan, air, dan tubuh, sumber bunyi berasal dari robot berbahan besi yang dikendalikan motor/dinamo), Novan Yogi Hernando Maupula-Reka Genta (menggunakan prinsip gravitasi dan sirkulasi kelereng yang dijadikan medium pemukul bel, pegas, lonceng, dan senar melalui proses mekanik), dan Ozsa Erlangga-Corong Sura (irama dari bentuk tubuh dengan berbasis synthesizer mandiri).

Untuk menghasilkan alat musik ciptaannya, Ihsanul bereksperimen sejak 2013. Alat musik yang dinamakan artmosf itu bermuara pada tubuh manusia melalui beberapa tahapan eksperimen, mulai manual, mekanis, otomatis, elektris, dan robotanical (robot dan botanical).

Bagi pria asal Muara Enim ini, botanical atau tumbuhan memiliki keunikan dalam karakter suara karena kandungan mineral. "Prinsipnya musik bisa dari mana saja. Sampai akhirnya ke tubuh, ini diingatkan lagi kalau secara alamiah mahluk hidup sudah bermusik. Tinggal kitanya saja yang mengkreasikannya. Karena saya builder instrumen jadi harus intense eksplorasi," kata Ihsanul.

Tak mengherankan bila alat yang dibuatnya ini mencapai 12 kali perubahan hingga bisa mendeteksi emosi seseorang menjadi bunyian tertentu dari sensor yang dinamakan mic beat dengan merespons denyut dalam arti emosional di nadi atau jantung.

Sebelumnya, Ihsanul telah membuat Tanjak (nama ikat kepala dari Muara Enim) yang ditafsir ulang menjadi alat musik terbuat dari senar bambu. "Karena saya lebih eksplorasi sumber suara dari tubuh, agak kontras dengan konsep elektronik. Tapi kali ini saya coba kolaborasikan keduanya. Lewat acara ini ada harapan untuk melihat sisi humanismenya yang tetap ada pada elektronik. Bagaimana menghargai tubuh sebagai organologi," paparnya.

Sebelum konsep tumbuhan, artmosf telah dipentaskan dalam konsep miniindustri yang menghasilkan komposisi, seperti suara pabrik. Ihsanul berencana akan mementaskan artmosf di Surakarta, Yogya, Jombang, dan Malang. (M-4)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya