HARGA saham PT Telekomunikasi Indonesia Tbk (TLKM) mengalami penurunan sekitar 10% menjadi Rp2.615 per saham pada Kamis (30/4), atau sehari sebelum liburan panjang akhir pekan lalu, dibandingkan harga pada awal pekan lalu sebesar Rp2.905 per saham. Itu mengakibatkan kapitalisasi pasar Telkom turun drastis sebesar Rp29 triliun, yaitu dari Rp293 triliun menjadi Rp264 triliun.
Selain karena kecenderungan penurunan transaksi di Bursa Efek Indonesia (BEI), banyak pihak yang memperkirakan penurunan itu disebabkan oleh ketidakpastian proses transaksi PT Dayamitra Telekomunikasi (Mitratel), anak usaha Telkom yang bisnisnya bergerak di bidang menara telekomunikasi. Dimana menurut rencana saham Mitratel tersebut akan dialih tukar (share swap) oleh PT Tower Bersama Infrastructure Tbk (TBIG).
Ketidakpastian transaksi tersebut timbul setelah muncul kesimpangsiuran berita-berita mengenai transaksi Mitratel yang dipicu oleh berbagai pernyataan pejabat dan politisi sehingga menimbulkan kegusaran investor terhadap saham Telkom. Akibatnya, harga saham TLKM sepanjang minggu lalu turun 10%, sementara Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) hanya turun 6,4%. Sebelumnya, Komisaris Utama Telkom, Hendri Saparini, kepada media mengatakan, masalah share swap masih dibahas di internal Telkom. Namun, berita yang belakangan beredar ternyata berbeda. "Belum ada yang bisa dishare ke publik," kata Hendri Saparini.
Pernyataan Hendri dikuatkan oleh isi hasil keputusan rapat RUPS (Minute of Meeting) Telkom, yang berbeda dengan surat yang dikeluarkan oleh Dewan Komisaris Telkom. Menurut Ketua Masyarakat Pengamat Investasi Indonesia (MPII), Chandra Budiman, BUMN di sektor telekomunikasi ini sejatinya belum memutuskan menerima atau menolak transaksi saham tersebut. “Menurut sumber internal Telkom, transaksi alih tukar saham masih dipelajari dewan komisaris. Itu bisa dicek di minute of meeting RUPS,†ujar Chandra, dalam surat elektroniknya, kemarin.
Chandra berharap, pemerintah bisa melindungi saham Telkom dari kerugian yang disebabkan oleh kesimpangsiuran pernyataan dan mencampuradukan keputusan bisnis dengan kepentingan politik. Selain itu, Telkom sebagai salah satu penggerak indeks juga akan menarik turun IHSG lebih dalam jika hal ini terjadi terus. Sedangkan William Surya Wijaya, analis Asjaya Indosurya Securities, berpendapat, rencana share swap antara Telkom dan TBIG tidak akan merugikan apalagi dilihat untuk jangka panjang. Aksi itu tidak bisa dilihat dalam jangka pendek dan pada satu sisi saja. Bicaranya harus jangka panjang, karena bisnis menara itu kontraknya jangka panjang semua, minimal lima hingga 10 tahun.
Dimata William Surya Wijaya, analis Asjaya Indosurya Securities, rencana share swap antara Telkom dan TBIG tidak akan merugikan apalagi dilihat untuk jangka panjang. Aksi itu tidak bisa dilihat dalam jangka pendek dan pada satu sisi saja. Bicaranya harus jangka panjang, karena bisnis menara itu kontraknya jangka panjang semua, minimal lima hingga 10 tahun.
Menurut William, dari pengalaman yang bisa menjadi rujukan dalam melihat transaksi akuisisi menara yaitu ketika Tower Bersama membeli 2.500 menara milik PT Indosat Tbk (ISAT) pada 2012. Saat itu Indosat tidak dibayar secara tunai, tetapi melalui kepemilikan saham sebesar lima persen di TBIG . Ketika itu, Indosat menetapkan harga penjualan lima persen saham milik Tower Bersama pada 2014 dengan harga Rp5.800 per saham. Dana yang diraih sekitar Rp1,39 triliun sebelum komisi dan biaya-biaya. Harga penjualan tersebut lebih tinggi 110% dibandingkan harga saham Indosat ketika memiliki saham penyedia menara itu pada 2012 sebesar Rp2.757 per saham.