Sebelum Kampung Tergusur

"BETAH ya pasti betah, ini kan tempat tinggal dari kecil, nyaman ya sekarang dibuat nyaman," ucap Hamid, saat duduk di antara bangunan tak beratap milik tetangganya. Bangunan itu telah ditinggalkan karena sudah laku terjual. Rumah Hamid merupakan satu dari sekitar 300 rumah yang masih bertahan di kawasan Menteng Atas, Setiabudi, Jakarta Selatan. Sebelumnya, ia punya ribuan tetangga. Berada di jantung Ibu Kota, kawasan itu memang sangat rentan akan imbas pembangunan. Lahan yang kian terbatas membuat para warga kampung akhirnya harus menyerah kepada para pemodal besar.

Kenyamanan dan keguyuban hidup bertetangga pun terpaksa direlakan jika tidak ingin menjadi yang terimpit dalam kehidupan kota yang makin sulit dikejar. "Satu per satu sahabat pergi, entah kapan pernah kembali," ucap Udin seperti menirukan lirik dalam salah satu lagu legendaris karya Iwan Fals. Ia masih bertahan meskipun rumah tetangga sebelah kiri, kanan, depan, dan belakang sudah hancur ditinggalkan. Yang ditunggu Udin hanya satu, harga yang cocok.

"Ini tinggal tunggu waktu aja, harga cocok, ya saya lepas, enggak mungkin juga kan mau terus bertahan. Sebagian lahan di sini kan sudah milik pengembang," pungkasnya. Rupiah dari penjualan rumah memang jadi harapan terbesar mereka untuk memulai harapan di tempat baru. Hasil penjualan itu pun belum tentu dapat dinikmati sendiri. Jika merupakan rumah keluarga atau warisan, tentunya ada sederet saudara yang juga menunggu bagian.

Tak mengherankan jika sering uang yang didapat jauh dari cukup untuk membeli rumah di Ibu Kota. Maka jadilah mereka hanya bisa menikmati saat-saat terakhir menjadi warga Jakarta. Perlahan semua berganti, Jakarta pun akan semakin menjulang tinggi. Sahabat, teman kecil, tetangga empat saling mengisi dan berbagi pun akan berganti. Namun apa pun itu, semua akan tetap meninggalkan kenangan yang tak terganti. (M-3)