Menyimak Jurnalisme Televisi dan Media Sosial di Ajang Reporter Muda

Empat puluh empat pelajar SMA/sederajat dan perguruan tinggi memasuki hari ke-2 pelatihan Reporter Muda. Kali ini mereka diajak menyimak seluk beluk jurnalisme televisi, media sosial, dan narasi visual. 

Seperti hari sebelumnya, pelatihan ini digelar secara daring melalui aplikasi konferensi. Beberapa pembicara ialah jurnalis senior, seperti Production Manager Metro TV, Kabul Indrawan dan Head of Digital Creative Content Medcom.id, Jati Savitri, serta fotografer senior Media Indonesia, Ramdani. 

Kabul dalam sesinya berbagi pengalaman bagaimana seorang jurnalis menghasilkan laporan langsung (live report) dari lapangan. Beberapa contoh berita yang cocok disiarkan secara langsung, katanya, ialah seperti politik, kriminal, hingga ekonomi.

"Live layak tidak layaknya tergantung program, tergantung stasiun televisinya. Tergantung juga dari magnitudenya. Misalnya, tawuran, kalau menimbulkan banyak masalah dalam arti banyak orang yang terluka, kemacetan hingga berkilo-kilo meter, polisi sampai kewelahan, itu layak live," jelas Kabul.

Namun pertanyaannya, apakah berita tawuran pelajar boleh menampilkan wajah anak? Menurut Kabul, aturan televisi nasional mengategorikan usia anak-anak hingga 18 tahun. Maka dari itu, siaran langsung yang melibatkan anak-anak di usia tersebut tidak boleh menampilkan wajah karena berhubungan juga dengan masa depan anak yang bersangkutan.

"Itu yang menjadi aturan baku dari Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) maupun standar jurnalistik televisi," imbuh Kabul.

Sementara itu, Jati dalam sesinya berbagi pandangan soal jurnalisme media sosial. Menurutnya, agenda setting pemberitaan media massa di masa kini tidak hanya berasal dari rapat redaksi. Berbagai macam perbincangan di media sosial juga penting untuk dilirik karena di dalamnya juga terdapat kedekatan (proximity) hingga nilai berita. 

Tren perbincangan itu, lanjutnya, juga dapat dilacak melalui berbagai macam fitur yang disediakan masing-masing aplikasi media sosial. Sebagai contoh, laman pencarian Goolge memiliki fitur Google Trends, ada juga Youtube Trends, Instagram Insight, dan lain-lain yang sifatnya regional maupun global.

"Kita harus menangkap dulu apa yang paling banyak dibicarakan publik. Kalau kita menangkap adanya potensi hoaks atau potensi informasi yang salah atau keliru, maka kita sebagai jurnalis atau news publisher tugas kita adalah memverifikasinya, dan kemudian mencari jawaban yang benar," imbuh Jati.

Jati selanjutnya juga menjelaskan bahwa dewasa ini ada tujuh jenis mis dan disinformasi yang perlu diketahui oleh seorang jurnalis. Hal tersebut meliputi konten tiruan (copyright), palsu (bohong), konten yang menyesatkan, koneksi dan konten yang salah, konten yang dimanipulasi, hingga satire atau parodi.

"Kalau di Medcom.id ada kanal khusus namanya cek fakta dan kami punya fact checker yang bekerja setiap hari. Membantu untuk mencari potensi hoaks dan kemudian memverifikasinya dengan sumber-sumber yang unggul sebelum akhirnya kami sampaikan informasi yang benar seperti apa," tutur Jati. (M-2)