Headline

Dengan bayar biaya konstruksi Rp8 juta/m2, penghuni Rumah Flat Menteng mendapat hak tinggal 60 tahun.

Fokus

Sejumlah negara berhasil capai kesepakatan baru

Perjuangan dan Kepedihan Amir Hamzah

Fathurrozak
02/2/2019 14:30
Perjuangan dan Kepedihan Amir Hamzah
(Titimangsa Foundation)

Bagaimana bila revolusi justru malah memenggal kepala manusia yang menyeru nasionalisme? Itulah yang menimpa penyair Amir Hamzah.

Amir dikenal sebagai salah satu sosok penting dalam perkembangan sastra dan puisi Indonesia. Medio 1930-an, Amir getol menggunakan bahasa Melayu, cikal bakal bahasa Indonesia, dalam menulis sajak-sajaknya. Bersama rekannya, Armijn Pane dan Sutan Takdir Alisjahbana, mengelola majalah sastra Poejangga Baroe.

Sebelumnya, ia juga aktif dalam pergerakan ketika dirinya menempuh pendidikan di Sala, Jawa Tengah.  Namun, segala kegiatan aktivisnya itu harus berakhir, ketika paman Amir, Sultan Machmoed penguasa Kesultanan Langkat memintanya pulang.

Kegiatan yang dilakukan Amir berseberangan dengan kebijakan kesultanan yang mendapat sokongan Belanda. Sehingga ia menjadi dianggap seperti musuh di masyarakatnya sendiri.

Kisah itulah yang coba diterjemahkan Titimangsa Foundation lewat lakon Nyanyi Sunyi Revolusi di Gedung Kesenian Jakarta, Jumat (1/2). Menyorot kronik Amir sejak belajar silat di surau, hingga dirinya menemui ajal dipenggal guru silat semasa kecilnya. 

Sutradara Iswadi Pratama membuat linimasa  plot maju-mundur. Sehingga peristiwa-peristiwa yang tersaji di atas panggung bukanlah drama yang linier. Ini menjadi menarik sebab pengadeganan menjadi terasa lebih bergairah. 

Lukman Sardi yang berperan sebagai Amir Hamzah, tampil cukup meyakinkan. Terlebih ketika dirinya beradu akting dengan Sri Qadariatin yang memerankan Ilik Sundari. Keduanya tampak mempertontonkan kemesraan sepasang kekasih.

Desi Susanti yang memerankan Tengku Kamaliah juga tampil meyakinkan dengan dialek Melayu yang fasih ia lafalkan.  Ketika alur yang dipakai ialah maju-mundur, maka pertimbangan tata panggung menjadi yang harus mengalah. Agaknya, beberapa properti yang digunakan menjadi kurang mendukung.

Iskandar Loedin sebagai penata artistik menyampaikan dalam catatannya, runtuhan Kesultanan Langkat menjadi inspirasi tapak bangun yang hadir di atas panggung. Namun, tata artistik menjadi kurang eksploratif dan terlihat bermain aman. Seperti halnya dengan kursi-kursi atau kelambu yang sekadar tampil menjadi pembeda ruang, tetapi tidak cukup membantu menghidupkan suasana.

Menarik sebenarnya ketika muncul hujan di makam Amir, hanya saja, itu diletakkan pada bagian akhir yang bahkan sebenarnya tanpa adegan itu pun, tidak berpengaruh pada alur cerita. Satu-satunya yang bisa dinikmati dan menjadi pembeda ialah letak pemusik yang menjadi latar panggung sekaligus pergantian cahaya di belakang pemusik. Justru di situlah suasana hidup dengan cahaya yang subtil bergradasi menjadi jingga atau hijau.

Minus lainnya, ialah bagian akhir dari pentas ini, yang tampak ragu-ragu akan segera berakhir pada bagian mana. Apakah ketika Amir Hamzah dieksekusi, ketika si algojo dibayangi halusinasi masa lampau ketika ia mengajar silat Amir Hamzah muda? Namun, justru akhir deselesaikan dengan ziarah mantan pesuruh Amir semasa dirinya menjabat Bupati Binjai. Ini terlihat seperti adegan untuk pemenuhan durasi.

Momen paling emosional sebenarnya ialah ketika Amir Hamzah harus meregang nyawa di tangan Ijang Wijaya, pengajar silat si penyair semasa kecil. Ijang, yang mengajarkan Amir agar tak menjadi pendendam dan pembenci, alih-alih memaafkan dan mencintai, justru harus menjadi algojo, mengantar Amir Hamzah pada perihnya akhir hidup  dan melengkapi kisah tragisnya. Lahir di kalangan bangsawan, muda menggelorakan pergerakan, pulang meninggalkan kekasihnya, dan mati di tengah kecamuk revolusi, dikubur massal bersama tengku-tengku lain. "Sunyi itu duka, sunyi itu kudus, sunyi itu lupa, sunyi itu lampus." (M-1)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Bintang Krisanti
Berita Lainnya