Dinilai Sebagai Kompromi, Pelatihan Saksi Pemilu Tambah Beban Anggaran

PENAMBAHAN norma tentang pelatihan saksi peserta pemilu dalam Rancangan Undang-Undang Penyelenggaraan Pemilu (RUU Pemilu) akan menambah beban anggaran yang akan dikeluarkan. Ada indikasi usulan itu muncul sebagai kompromi setelah dana saksi parpol ditolak dalam sidang.

Demikian yang disampaikan oleh Koordinator Nasional JPPR Sunanto. "(Norma itu) akan menambah anggaran yang harus dikeluarkan oleh negara," kata Sunanto, Jumat (16/6). Tak hanya soal masalah penambahan anggaran, norma tersebut pun juga akan menambah beban kerja Bawaslu.

Sebelumnya diberitakan, Komite Pemantau Legislatif (Kopel) menaksir dana yang diperlukan untuk membiayai pelatihan saksi peserta pemilu di kurang lebih 540 ribu tempat pemungutan suara (TPS) sebesar Rp 11,1 triliun. Namun, taksiran anggaran tersebut dibantah oleh Wakil Ketua Pansus RUU Pemilu Riza Patria yang memperkirakan dana yang dibutuhkan hanya sekitar Rp 375 miliar.

Sunanto tidak sepakat dengan taksiran anggaran yang diperkirakan oleh Pansus tersebut. Menurutnya, angkanya akan lebih besar dari itu. "Angkanya diperkirakan akan lebih besar dari estimasi anggota Pansus," ucapnya.

Ia pun mengkritisi bahwa metode pelatihan saksi peserta pemilu masih belum diatur secara jelas, yang kemudian juga berdampak pada kejelasan besaran anggaran. "Rp 375 miliar hanya untuk saksi parpol, itu pun masih kurang anggarannya kalau dihitung-hitung. Pertanyaannya yang mau dilatih siapa? Dan berapa tingkatan? Kan ada tingkat nasional, provinsi, kabupaten/kota, kecamatan, TPS," ujarnya.

Untuk itu, pihaknya tidak mendukung bila norma tersebut kemudian diundangkan. Menurutnya, norma tersebut hanya sebagai bagian dari kompromi karena dana saksi parpol ditolak. "Menurut kami tidak perlu ada norma hukum tentang pelatihan saksi oleh Bawaslu," tandasnya. (OL-3)